(Update setiap Sabtu)
Book #2
Terkadang, kita berjuang untuk hal yang sia-sia.
Terkadang, kita selalu bersikukuh kalau semuanya benar.
Tanpa pernah kita ingat, kalau yang terjadi terjadilah. Dan jarang dari kita bisa mengubahnya.
Lalu terkadang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seperti mungkin kebanyakan orang pada umumnya, gue adalah orang-orang itu. Yang menghabiskan hampir setengah masa mudanya dengan cuma tiduran di kasur. Baca buku yang sampulnya udah kebuka di toko buku karena males beli. Kalau bisa baca di situ ya ngapain beli?
Gue selalu menghabiskan hari libur gue dengan apa aja yang bisa gue lakukan. Mau main gim sampe sore kek, atau diem di kamar sampai ada tetangga yang mengira gue udah meninggal. Ya terserah mereka, toh gue juga masih hidup.
Seperti kebanyakan orang pada umumnya, gue adalah orang-orang itu. Yang tidak pernah mendapatkan dukungan secara moral dari orang terdekat gue.
Begini, ini udah jadi rahasia umum, sih di antara kalangan keluarga gue. Khususnya yang hidup di jaman milenial kayak gue, Bro Arsen atau si Dinan.
Bagi mereka termasuk gue. Selalu aja ada cerita menarik tentang seberapa mengenaskannya perjalanan masing-masing kita untuk meraih tujuan hidup.
Kayak misalnya Bro Arsen yang dulu dicibir habis-habisan karena memilih menjadi tenaga pengajar lepas di Bhimaraja. Walaupun iya kampusnya gede banget yang kalau kalian semua main petak umpet di sana. Seminggu baru ketemu orangnya ngumpet di mana.
Atau Dinan yang hampir gak mendapatkan pengakuan dari keluarga karena pernah jadi kasir KFC dan pacaran sama pelukis jenius anaknya Bu Mayang. Keluarga besar khususnya enin kayak merasa terluka gitu harga dirinya. Padahal, Dinan itu tadinya hampir jadi anggota DPR atau mentoknya jadi pengacara ngikutin bokapnya. Raden Ilham Bratadiga. Sekarang aja dia udah jadi GM mulai pada yang mau ngajak ngobrol lagi.
Hidup di keluarga yang menganut paham kolot kayak gitu ada enak-enggaknya. BANYAK GAK ENAKNYA. Bagi paman dan bibi kami, mereka menganggap kalau pekerjaan yang aman itu menjadi anggota DPR menjadi walikota, bupati dan gubernur atau menjadi dubes polri atau panglima TNI atau ... ah anjing lah kesel gue.
Sebenarnya bukan hal mustahil untuk mencapai itu semua. Mengingat hampir semua kolot di keluarga gue itu orang birokrasi semua. Enin mantan walikota di salah satu kota di Jawa Barat, paman gue letnan, bibi gue dulunya direktur Bank dan sekarang menjadi sekda.
Bisa gak sih mereka menghargai setiap keputusan kaula muda kayak kita tanpa harus mengkotak-kotakan mana pekerjaan yang bagus dan mana pekerjaan yang buruk. Emangnya salah ya kalau harus bekerja tanpa harus mendapat pensiun? Emangya pekerjaan yang gue dan mereka ambil adalah hal yang hina ya?
Kayak patokan berhasil atau enggaknya seorang manusia itu diukur hanya dengan penisunan. Whatthe hell isgoing on?!
Kenapa keluarga gue menganggap kalau pekerjaan yang mendapatkan pensiun adalah pekerjaan yang terbaik? Kagak! Buktinya ada banyak bokap temen gue yang sering gak dapet gaji tiga belas.