NOVELTY 05: Itu Pun Kalau Boleh

256 42 59
                                    

Jangan lupa vote dan komennya 💛💙

Ada yang kangen sama cerita ini gak?? Maaf ya agak ngaret.

ⓝⓝⓝ

Arsen

Saat itu kami semua masih belum mengerti apa pun, tentang persoalan yang belum seharusnya kami selami lebih dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat itu kami semua masih belum mengerti apa pun, tentang persoalan yang belum seharusnya kami selami lebih dalam. Siang itu matahari sedang berdiri tegak sekali di puncak langit, suasana rumah sejuk seperti biasanya karena mamah rutin menyirami kebun kecil yang ada di depan teras rumah setiap siang. Ditambah dengan adanya pohon jambu yang kecil namun memiliki dahan yang banyak juga daun yang tak kalah banyak. Teras rumah kami mungkin tidak se-gersang teras rumah orang lain di sekitaran.

Saat itu, kami semua harusnya sedang asyik merasakan lelah sepulang sekolah atau kesal sebab kesulitan mengerjakan tugas sekolah.

Harusnya.

Karena sebetulnya kami pada saat itu, tidak dibiarkan untuk menjadi pribadi apatis untuk semua yang seharusnya tidak kami ketahui.

Dinan, Mahesa, dan saya.

Kami adalah anak-anak yang dipaksa mengerti apa itu sumpah serapah, umpatan, kata kasar bahkan tidak seharusnya Esa yang saat itu baru menginjak sekolah dasar harus mendengar sebuah kata yang saya rasa bisa menghancurkan setiap anak yang mendernganya.

Perceraian.

Atau mungkin saya rasa, bahkan Dinan pun tidak akan pernah siap untuk mendengar, memahami dan mengerti tentang arti perceraian itu sendiri. Lalu saya, sebagai anak tertua diantara mereka. Saya dituntut harus mengerti, harus memahami, harus mendengar sendiri apa itu perceraian.

Namun, saat itu semua terjadi.

Di saat kami sedang makan siang.

Di saat kami sedang mengerjakan tugas sekolah.

Atau di saat kami sedang bercanda.

Kapan pun kejadian itu berlangsung, kapan pun ada perdebatan hebat di antara mamah dan ayah, kapan pun saya mendengar mamah dimarahi oleh ayah.

Saya tidak pernah bosan untuk bertanya kepada mamah.

"Ayah gak apa-apa 'kan, Mah?"

"Ayah nangis gak Mah?"

"Ayah bakal terus main sama Arsen 'kan, Mah?"

Karena setelah serangkaian kejadian itu berlangsung yang menjelma menjadi kejadian yang berulang. Ayah selalu keluar rumah untuk menenangkan diri dan meredam emosi, saya tahu memang tidak ada pihak yang baik-baik saja setelah kejadian itu. Namun, di satu sisi saya khawatir terhadap ayah saya sendiri.

Karena setelah kejadian itu, tidak ada yang menemani dia mengobrol.

Tidak ada yang menemani dia bercanda.

NOVELTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang