NOVELTY 21: Orang yang Tepat

141 22 116
                                        

Arsen

Saya dekat dengan Mamah sebenarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya dekat dengan Mamah sebenarnya. Setiap malam, setiap kali saya kesulitan mengerjakan tugas sekolah saya selalu duduk di dapur. Memandangi Mamah yang selalu sibuk dengan adonan kuenya.

Iya, Mamah suka memasak.

Memasak apa saja, kata Mamah masak adalah hobinya dari kecil dari dia masih belia.

Mamah selalu tersenyum ketika saya membuka pintu dapur, dia selalu memberi sepotong kue buatannya kepada saya untuk menanyakan apakah kue buatannya enak atau tidak.

Dan jawaban saya selalu. "Enak banget, Mah."

Bukan karena beliau ibu saya, tapi memang kue buatannya selalu enak. Bahkan hampir tidak pernah gagal.

"Ah kamu, bilang aja aja kalau ada yang kurang." Mamah merasa pujian saya terlalu berlebihan.

"Emang ada yang kurang," kata saya. "Kurang banyak."

Mamah tertawa sembari memasukan terigu ke dalam baskom. "Ada apa nih anak Mamah ke dapur malam-malam?"

"Enggak ada apa-apa, cuma pengen ngeliat Mamah aja." Saya menjawab tulus.

Mamah tergelak, tawanya manis sekali lebih manis dari kue buatannya tadi. "Kita serumah loh Arsen, masa gak puas ngeliat Mamah?"

"Kalau siang 'kan Mamah sibuk ngurusin Esa, kadang Dinan juga suka bantuin Mamah masak. Aku jadi gak punya waktu buat ngobrol atau berduaan sama Mamah." Belasan tahun lalu, saya adalah pribadi yang jujur. Saya tidak sungkan mengungkapkan perasaan saya.

"Jadi kamu iri sama adikmu?" Mamah melanjutkan pekerjaannya. Kini suara telur yang dikocok menemani obrolan kami berdua.

Iri? Mana mungkin saya iri kepada saudara saya sendiri.

"Iya, aku juga pengen deket sama Mamah."

Bibir memang bisa berkata bohong, tapi hati punya jawabannya sendiri. Dan saya tidak bisa bohong di hadapan Mamah kalau saya iri melihat kebersamaan adik-adik saya bersama Mamah.

Mamah tidak menjawab lagi, kini dia berjalan menujur wastafel. Tangannya dicuci bersih, dielap pada baju yang dia kenakan. Lalu Mamah membuka lebar kedua tangannya.

"Sini," suruhnya.

Saya memalingkan wajah malu. "Apa, sih Mah. Arsen kan udah gede. Masa masih dipeluk."

"Lohh memangnya Arsen udah gede ya? Mamah gak tahu, tuh. Mamah ngerasa kalau anak-anak Mamah masih pada kecil. Masih suka berantem, kalau tidur rebutan guling kalau makan pasti rebutan daging ayam yang paling gede."

Pipi saya terbakar malu.

"Sayang," kata Mamah berjongkok di hadapan saya. "Bagi Mamah, kamu, Dinan dan Esa itu masih kecil. Kalian akan selalu jadi anak kecil Mamah yang hobi berantem terus ujung-ujungnya nangis. Entah nanti kamu sudah punya pacar, sudah bekerja di gedung besar atau sudah punya istri, kalian akan selalu jadi bayi kecil Mamah yang akan selalu Mamah jaga."

NOVELTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang