NOVELTY 23: Dan Sakit

142 23 88
                                    

Arsen

Saya tidak terbiasa mementingkan diri sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya tidak terbiasa mementingkan diri sendiri.

Terdengar narsis dan percaya diri, namun saya berani menjamin perkataan saya tadi.

Kebiasaan untuk peduli terhadap orang lain ternyata mengakar dan merambat sampai saya dewasa. Hanya saja terkadang saya terlalu kaku untuk menunjukan kepedulian itu sendiri. Pada satu sisi, saya tidak ingin terlihat seperti manusia yang haus pujian dan pencitraan, dan pada satu sisi yang lain saya tidak bisa menghentikan diri saya untuk menghapal apa saja hal kecil yang disukai orang-orang di sekitar saya.

Contohnya sekarang.

Kelas memang ramai, semua murid masuk hari ini. Namun satu bangku paling pojok sebelah kanan kosong, bangku yang biasanya selalu penuh dengan buku yang bukan buku kuliah seolah mati dicabut nyawa karena orang yang biasa duduk di situ kini duduk di tempat lain.

Saya tidak tahu tempat itu di mana.

Malam kemarin, saya mewanti-wanti pada orang itu untuk jangan sampai telat apalagi membolos di kelas saya, bukannya apa hanya saja hari ini saya akan membahas tentang aturan umum terkait lomba cipta dan baca cerita yang akan diselenggarakan kurang dari dua bulan lagi.

Saya tahu menjadi penulis adalah mimpinya, saya pun sempat salah ketika meremehkan kemampuan anak itu dalam merangkai cerita. Ternyata ambisinya bukan sekedar ucapan belaka, dari naskah mentah yang saya baca ketika itu saya bisa langsung tahu kalau Ellen mempunyai bakat alami untuk menyampaikan apa yang ada di dalam kepalanya hanya dengan tulisan.

Sebab orang seperti Ellen biasanya tidak bisa menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya dengan baik. Orang seperti Ellen cenderung hanya tersenyum ketika sedih, tersenyum ketika senang, tersenyum ketika kesal dan marah.

Iya, seperti itu Ellen di mata saya.

Namun di dalam ceritanya, kepribadian Ellen berbanding balik sangat jauh.

Di dalam ceritanya dia menjadi sosok yang lebih ekspresif, sosok yang lebih perasa dan peka.

Lalu saya merutuki diri saya sendiri untuk terlambat menyadari itu.

Saya terlambat untuk menyadari betapa Ellen selama ini hanya berpura-pura semua baik-baik saja.

Saya bodoh untuk meremehkan niatnya untuk pertama kali.

Saya jahat untuk mengira kalau Ellen hanya anak pemalas yang kerjanya terlambat.

Padahal tanpa saya tahu, dia sering begadang hanya untuk mengasah kemampuan menulisnya, padahal tanpa saya tahu, dia sering pulang terlambat hanya untuk mengoreksi naskahnya di perpustakaan.

Padahal tanpa saya tahu, Ellen sempat ditegur oleh penjaga perpustakaan karena terlalu banyak meminjam buku sehingga mahasiswa lain tidak kebagian giliran membaca.

NOVELTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang