Rintikan Rasa Sendu

141 15 2
                                    

Hujan. Masih sering turun untuk dua bulan awal tahun ini.

Masih air. Serta dengan lambang kimianya yang tetap H²O.

Katanya hujan tak akan turun jika tak ada oksigen. Oksigen tak ada, awan pun juga tak ada.

Mereka berkicau bahwa hujan adalah kondisi atau suasana yang mereka sukai.

Bau tanah basah, itu kata mereka kebanyakan.

Kata mereka juga rintikannya penuh dengan keajaiban. Sebab saat rintikannya jatuh, dengan sekelebatan namanya sebuah kenangan langsung menjajahmu.

Banyak yang bercanda tentang arti kenangan menjadi kata genangan. Biar lucu katanya. "Capek bucin," ucap mereka.

Tapi sekarang aku duduk di pinggiran kolam. Hujan. Sebagian tubuhku terciprat air kolam yang dihujam dengan ribuan tetesan air langit.

Dingin.

Kedua tanganmu menengadah, seperti berdoa. Sespesial apa rintikan hujan? Kenapa banyak yang memuja dan menyukainya?

Aku tak menepis anggapan bahwa rintikan air hujan bisa menimbulkan kenangan itu muncul.

Dan sekarang aku teringat kenangan itu.

Aku tertawa kecil dengan malu-malu. Sampai tak sadar wajah tomatku hadir disela-sela aku yang kedinginan.

Aku teringat saat itu rasa campur aduk di dalam hati sedang merontah untuk menemui sang pemiliknya.

Tapi saat itu aku tahu, kita berselisih paham. Aku memaksa dirimu untuk datang menemuiku.

Kamu hadir dengan pandangan masih tak bersahabat. Lupa bahwa saat itu awan-awan gelap menyelimuti kota kita.

Hitungan detik pun, hujan membasahi kita berdua. Kamu mengoceh bahwa aku keras kepala dengan pertemuan ini. Aku tersenyum, merasa bahagia melihat wajah kesalmu.

"Wanita mana yang masih bisa tersenyum di bawah air hujan dengan prianya sedang mengomel layaknya beo?" Kamu menatapku dengan tatapan heran. Lalu kamu tersenyum.

"Entah wanita yang mana? Aku tak mengenalnya," ucapmu sok tak tahu.

"Masih mengelak dan tak mau bicara sebenarnya?"

"Iya."

"Menyukaiku tidak?" tanyaku.

"Aku lebih menyukai hatimu ketimbang manusianya." Kamu tersenyum sambil mengusap-usap puncak kepalaku.

Kenangan itu terlihat hangat. Tak sadar pelupuk mataku meneteskan airmata.

Aku lupa seindah-indahnya kenangan itu. Percuma jika sekarang kita tak bersama. Suasananya mulai jadi sendu sekarang.

Kamu. Masa laluku.

Kamu. Kenanganku.

Kamu juga. Membuat aku belajar bersatu dengan hujan.

Baik-baik di sana ya? Aku tahu, bukan aku yang pantas di sisimu saat ini.

Siapapun dia. Aku pastikan kamu selalu bahagia.

Biarkan. Biarkan saja wanita ini memeluk kenangan indah itu.

Biarkan saja hujan mendengarkan rasa senduku.

Untukmu sekali lagi.
Siapapun kita, aku tetap mengemasmu dalam kotak kumpulan kenangan terindah itu. Terima kasih untuk kenangannya.

Tertanda
Dari Manusia Tukang Sambat
Untuk Kamu Yang Tersesat

Love❤

9 February 2020

Delusi Abstraksi (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang