"𝓨𝓸𝓾 𝓼𝓽𝓲𝓻𝓻𝓮𝓭 𝓼𝓸𝓶𝓮𝓽𝓱𝓲𝓷' 𝓲𝓷 𝓶𝓮,"
L A R A
"Terima kasih, Nona. Semoga harimu menyenangkan," aku tersenyum kepada seorang gadis muda yang membeli sebuket gerbera daisy untuk neneknya. Ia sangat periang. Matanya yang cokelat tidak berhenti bersinar setiap kali ia menceritakan tentang hal-hal yang membuatnya bahagia. Mulai dari biskuit cokelat milik neneknya sampai kucing kecil milik ibunya.
Dia mengingatkanku dengan Finn saat ia masih kecil. Ketika berumur lima tahun, Finn pernah memiliki seekor ikan mas yang ia dapat dari karnaval kota. Ia selalu antusias saat menceritakan tentang ikannya. Rambut keritingnya bergoyang kesana kemari karena Finn selalu menambahkan ceritanya dengan beberapa lompatan kecil. God, I wish I could keep him from growing up.
Aku membereskan beberapa vas bunga yang berisi mawar-mawar kaca sembari menunggu shift kerjaku berakhir. Ini terdengar sedikit gila tapi sejak bertemu Raoul kemarin, aku berharap dapat melihatnya lagi. Merupakan sebuah harapan yang sia-sia karena laki-laki seperti Raoul tidak akan datang ke sebuah toko bunga tanpa alasan.
Mataku menoleh ke arah pintu saat lonceng diatasnya berbunyi. Aku melihat seorang pria dengan kaus putih dan celana jeans hitam sedang sibuk menelpon seseorang. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan tetapi aku tahu kalau ia dan siapapun yang ada di seberang sana sedang berargumen.
Ia masih berdiri sekitar dua meter dari pintu. Ia mengangkat tangannya dan kulihat ekspresinya sangat kesal. Pria itu tetap pada posisinya sampai kami saling melihat. Mungkin ia merasa buruk karena telah berkelahi di toko bunga.
Setelah itu, ia segera mendatangiku. "Hai, maaf soal yang barusan. Aku harap kau tidak mengusirku karena telah membuat kebisingan," ia tersenyum kepadaku sambil mengusap bagian belakang lehernya. Dari aksennya aku bisa menebak kalau ia bukan berasal dari New York. Mungkin Texas atau Los Angeles.
Aku membalas senyumannya, "Aku pernah melihat yang lebih buruk. Jadi, ada yang bisa kubantu hari ini?". Aku memperhatikan wajah pria ini. He looks fresh. Ia seperti para peselancar yang menghabiskan banyak waktu di pantai sehingga matahari membakar kulit mereka. Bukan, bukan dibakar. More like sunkissed.
"Syukurlah. Aku kira aku yang pertama berkelahi di telpon di sebuah toko bunga," ucapannya membuatku tertawa. "Anyway, berapa harga satu rangkaian bunga tulip kuning," ia melirik ke arah ponselnya sekilas kemudian melihat ke arahku. Mungkin maksudnya satu buket, batinku.
"Satu buket bunga tulip harganya enam puluh lima dollar, Tuan," aku melirik daftar harga yang sudah ditaruh Tuan Velasquez di bawah meja kasir. Aku mendongak untuk menatap pria itu. Aku hampir tersentak karena ia ternyata masih menatapku.
"Well, kalau begitu aku ingin dua buket bunga tulip kuning dan empat tangkai bunga matahari. Dan oh, jangan panggil aku Tuan. The name's Mateo. Kau bisa panggil aku Mateo," pria di depanku ini, Mateo, tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Aku merasa sedikit canggung namun aku tetap menerima uluran tangannya.
"Senang bertemu denganmu, Mateo," mata cokelatnya tidak memutus kontak dengan mataku. Entah memang aku yang terlalu kikuk atau pria ini yang benar-benar aneh. Aku memanggil Chole untuk mengambilkan pesanan Mateo.
"Pesananmu akan selesai dalam beberapa menit, Tu-maksudku Mateo. Kau bisa menunggu sebentar," aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak gugup dan tetap bersikap profesional. Aku rasa aku terlalu lama tidak berinteraksi dengan seorang laki-laki, kecuali laki-laki disekitarku, sehingga aku lupa bagaimana caranya berbicara kepada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Interlude ➳ Harry Styles [ON HOLD]
Фанфик𝘍𝘰𝘳𝘨𝘪𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘰𝘦𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘦𝘳𝘢𝘴𝘦 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘪𝘵𝘵𝘦𝘳 𝘱𝘢𝘴𝘵. 𝘈 𝘩𝘦𝘢𝘭𝘦𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺 𝘪𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘢 𝘥𝘦𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺. 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘦𝘢𝘥, 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘪𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘸𝘦 𝘤𝘢𝘯𝘯𝘰𝘵 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘦𝘵 𝘤𝘳𝘦𝘢𝘵𝘦𝘴 𝘢 𝘯𝘦𝘸...