"𝓐𝓷𝓭 𝓲𝓷 𝓶𝔂 𝓱𝓮𝓪𝓭 𝓽𝓱𝓮 𝓿𝓲𝓼𝓲𝓸𝓷𝓼 𝓷𝓮𝓿𝓮𝓻 𝓼𝓽𝓸𝓹,"
H A R R Y
"Bye, Harry. Kabari aku jika kau sudah sampai di New York. Tell your parents and Diane I said hi,"
Eve berkata kepadaku dari dalam taksi yang dipesannya saat kami selesai memakan gelatto di kedai favoritku. Setelah mengelilingi pusat kota sekitar dua jam, kami memutuskan untuk menyudahinya. Ia berkata kalau ia harus membeli hadiah untuk orang tuanya sebelum mereka pulang.
Aku menyetujuinya karena aku juga harus mengurus beberapa hal sebelum aku meninggalkan Italia. Entah itu tentang pekerjaan atau urusan pribadi. Jika kau melihat pikiran di kepalaku sekarang, kau bisa pingsan karena melihat isinya yang berantakan. Trust me, my head is in a fucked up situation right now.
"Will do. Kau juga jangan lupa menyampaikan salamku kepada orang tuamu. Sampai jumpa, Eve,"
aku menaruh tanganku di pintu penumpangnya. Ia tersenyum dan mengangguk. Setelah itu aku mundur dan taksi yang ditumpangi Eve berjalan, menghilang di jalan raya Roma yang ramai.
Aku melangkah melewati keramaian di depan air mancur Trevi. Banyak turis yang berfoto di depannya atau sekedar mengaguminya. Melihat hal itu, aku jadi ingat terakhir kali aku ke sini. Aku adalah seorang pria Amerika yang labil dan tidak tahu siapa diriku sendiri. Like I said, I was a mess. Hidupku dipenuhi dengan alkohol dan wanita penghibur. I wasn't proud of myself back then.
Aku hendak mencapai tempat mobilku di parkir saat seorang anak perempuan menghentikan langkahku. Pakaiannya sedikit lusuh dan ia memegang sebuah papan dari kardus kecil yang bertuliskan POEM/POESIA €1.
Aku bingung atas maksud anak ini. Ia menggerakan tangannya menggunakan bahasa isyarat. Shit, I don't know what she's talking about. Aku hanya mengerti ASL dan bukan LIS. Aku menggelengkan kepalaku, berusaha berkata kalau aku sama sekali tidak paham maksudnya.
Ia menarik tanganku menuju sebuah tempat di dekat trotoar jalan. Di sana aku melihat anak perempuan yang memiliki wajah yang mirip dengannya sedang memegang sebuah mesin ketik lama. Oh, aku mengerti sekarang. Ia ingin aku membeli puisi mereka.
Anak perempuan, atau bisa kupanggil kembarannya, tersenyum saat aku menghampirinya. Aku melihat sebuah crutch di samping kakinya. Rambut pirangnya yang sedikit berantakan tertitup angin.
"Selamat siang, Tuan. Apa kau bisa berbicara dalam bahasa Italia?",
anak perempuan ini bertanya kepadaku. Kurasa ia ingin memastikan apakah aku turis atau bukan. Cara berbicaranya tertata rapi menjelaskan kalau ia sudah terbiasa dengan ini. Aku hanya mengangguk. Ia pun melanjutkan ucapannya,
"Sarai il nostro primo cliente oggi? Puoi scrivere la tua poesia e io la scrivo. E mi dispiace tanto se mia sorella ti ha confuso con il linguaggio dei segni."
ia tersenyum kepadaku. Aku sebenarnya sedikit terburu-buru. Tetapi, aku pikir tidak apa-apa. Lagipula, tidak ada salahnya membantu seseorang.
"Voglio dire, volevo farlo. Ma non so a chi dovrei scrivere poesie,"
aku berjongkok di depannya. Anak perempuan yang tadi membawaku ke sini duduk di samping kakaknya dan mengisyaratkan sesuatu dengan tangannya. Anak perempuan yang sedang memegang mesin ketik itu tersenyum dan mengangguk.
"Kau bisa memberikannya kepada istri atau kekasihmu, Tuan. Mungkin bisa juga kepada orang tuamu. Jika kau kesulitan memikirkan kata-katanya, aku bisa membantumu. Kau tinggal bilang untuk siapa puisi yang akan kau berikan ini,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Interlude ➳ Harry Styles [ON HOLD]
Fanfiction𝘍𝘰𝘳𝘨𝘪𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘰𝘦𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘦𝘳𝘢𝘴𝘦 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘪𝘵𝘵𝘦𝘳 𝘱𝘢𝘴𝘵. 𝘈 𝘩𝘦𝘢𝘭𝘦𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺 𝘪𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘢 𝘥𝘦𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺. 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘦𝘢𝘥, 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘪𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘸𝘦 𝘤𝘢𝘯𝘯𝘰𝘵 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘦𝘵 𝘤𝘳𝘦𝘢𝘵𝘦𝘴 𝘢 𝘯𝘦𝘸...