"𝓘 𝓼𝓽𝓲𝓵𝓵 𝓵𝓸𝓿𝓮 𝓱𝓮𝓻, 𝓵𝓸𝓿𝓮𝓭 𝓱𝓮𝓻 𝓶𝓸𝓻𝓮 𝔀𝓱𝓮𝓷 𝓼𝓱𝓮 𝓾𝓼𝓮𝓭 𝓽𝓸 𝓫𝓮 𝓼𝓸𝓫𝓮𝓻 𝓪𝓷𝓭 𝓘 𝔀𝓪𝓼 𝓴𝓲𝓷𝓭𝓮𝓻,"
Genevieve Galloway melihat ke arah pintu masuk sekali lagi. Kemudian, ia menyesap Campari dihadapannya dengan perlahan. Mungkin suasana jalanan kota sedang ramai, pikirnya. Ia berpikir untuk menyibukkan dirinya dengan mengobrol dengan bartender yang barusan menyediakan minumannya. Kelihatannya ia sangat ramah.
Terlihat dari caranya melayani pelanggan yabg datang. Bahkan ia sangat sabar dalam menghadapi beberapa laki-laki yang sempat berkomentar tentang bajunya yang sangat kecil. Berbeda dengan sebagian besar bartender yang Genevieve temui selama hidupnya.
Genevieve memperhatikannya. Rambut hitam yang panjangnya ia perkirakan melebihi bahu dikepang rapi. Ia memakai crop tee Ramones ketat berwarna hitam yang terlihat lusuh. Must be her favorite tee, gumam Genevieve. Sadar sedang dilirik, gadis bartender itu mendekati Genevieve sembari mengerjakan pekerjaannya. Ia terlebih dahulu membuka pembicaraan.
"Non vieni da qui, vero?", Genevieve tersenyum dan menggeleng. Ia menggeser gelasnya ke samping. Belum banyak orang yang datang jadi tidak masalah bila ia melemparkan godaan halus kepadanya. Plus, she's cute and got a very attractive Italian accent. Jika beruntung, Genevieve bisa mendapatkan nomornya setelah ia bertemu dengan Harry.
"Sono americano, vengo da Tucson," kali ini giliran si bartender yang tersenyum dan mengangguk. Ia telaten mengelap gelas-gelas sloki di hadapannya. Tiga tindikan di telinga kirinya memantulkan cahaya lampu yang langsung dilihat Genevieve.
"Oh, you're an American. Aku punya seorang sepupu di Iowa Kadang-kadang ia berkunjung ke sini saat liburan musim dingin," gadis bartender itu gantian berkata kepada Genevieve. Ia sudah selesai dengan gelas-gelas kecil itu dan beralih kepada serbet-serbet yang sedikit berantakan.
Genevieve bersorak dalam hati. Ada kemungkinan kalau ia bisa mengobrol soal mengenai Amerika karena sepupunya tinggal di sana.
"Benarkah? Aku tidak pernah pergi ke sana. Namun, aku mempunyai seorang paman yang tinggal di sana," Genevieve meneguk Camparinya lagi. Gadis itu memberikan tatapan bingung sambil melemparkan senyumannya.
"Aku kira kau sudah pernah ke sana. Maksudku, sepupuku bilang kau hanya tinggal berkendara di sana dan boom, dalam sekejap kau sudah berada di negara bagian lain," mata birunya sedikit membesar yang membuat Genevieve nyaris tersedak ludahnya sendiri. Ia benar-benar harus mendapatkan nomor telponnya.
"Dia tidak salah. Hanya saja aku adalah seorang yang sibuk. Aku hanya keluar kota jika ada urusan pekerjaan. Dan kebetulan, pekerjaanku tidak pernah ditempatkan di Iowa," gadis itu mengangguk. Genevieve tersenyum. Ia tiba-tiba terkejut karena ponselnya berdering. Nathanael.
Genevieve menggumamkan aku harus mengangkat ini kepada gadis bartender tadi sebelum mengangkat telponnya. Gadis bermata biru itu membalas dengan senyuman.
"Hey, Nat. Ada apa?", ia bisa mendengar suara orang-orang di ujung sana. Nathanael pasti kembali lagi ke Pantheon. Adik laki-lakinya mengucapkan sesuatu dalam bahasa Italia di seberang sana yang ia yakini untuk membeli sesuatu.
"Oh, ya, hai. As you see, aku sedang berjalan-jalan di sekitar hotel dan menemukan toko souvenir yang menjual miniatur Basilika. Kau mau?", Genevieve menahan diri untuk tidak tertawa. Memangnya dia pikir dia ini anak kecil?
"Aku tidak tertarik dengan souvenir semacam itu. Aku mungkin akan mampir nanti ke Astemio untuk membeli wine untuk ayah. Kau tahu ia sangat suka dengan wine," Genevieve memainkan gelasnya yang nyaris kosong. Ia lagi-lagi mendengar Nathanael berbicara dengan bahasa Italia. Bisa jadi ia sedang menanyakan harga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Interlude ➳ Harry Styles [ON HOLD]
Fanfiction𝘍𝘰𝘳𝘨𝘪𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘰𝘦𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘦𝘳𝘢𝘴𝘦 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘪𝘵𝘵𝘦𝘳 𝘱𝘢𝘴𝘵. 𝘈 𝘩𝘦𝘢𝘭𝘦𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺 𝘪𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘢 𝘥𝘦𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺. 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘦𝘢𝘥, 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘪𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘸𝘦 𝘤𝘢𝘯𝘯𝘰𝘵 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘦𝘵 𝘤𝘳𝘦𝘢𝘵𝘦𝘴 𝘢 𝘯𝘦𝘸...