Namanya Peter. Aku mengenalnya sejak SMP. Sekilas wajah dan postur tubuhnya hampir mencuri paras Timothee Chalamet, aktor favoritku. Bahkan aku bisa saja memberikan nilai 90 dengan cuma-cuma untuknya. Segalanya. Segala yang ada dalam dirinya terlebih lagi wajahnya yang membuat aku harus mengerjapkan mata berkali-kali agar tidak terbawa bunga tidur.
Mungkin kalian akan mengira aku akan menambahkan 10 point untuknya jika berhasil merebut hatiku. Ah, tidak. Aku bukan barang gratisan yang bisa direbut begitu saja, selain itu tak secuil pun dari diriku yang menciptakan daya tarik pria pada umumnya. Aku pikir, kalian mengerti maksudku. Aku tidak cantik, tidak menarik, tidak aktif berorganisasi, dan aku tidak memiliki teman pria sama sekali. Aku seorang wanita pasif yang tidak memiliki sesuatu untuk dibanggakan. Nilai akademikku juga pas-pasan.
Baiklah, kembali ke Peter. Alasan tidak memberinya nilai sempurna cukup umum sebenarnya. Dia cuek dan sombong luar biasa. sangat berbeda denganku yang care pada siapa saja. Pekerjaan ayahku adalah PNS yang mengabdi di Kementerian Agama pusat, sedangkan ibu merupakan pengusaha swalayan "SARABIL" yang tidak lain adalah singkatan nama-nama anggota keluarga kecil kami ; Sabrina – Rahmat – Salsabiela yang cukup terkenal di ibukota. Tentang Peter, yang kutahu keluarganya adalah pengusaha bidang kuliner terpandang yang memiliki cabang dimana-mana. Baru-baru ini ku dengar, kafe ayahnya sudah memiliki cabang lagi di Singapura. Super Tajir. Itulah komentar teman-teman di sekolah.
Sekarang kami kelas 3 SMA. Beda kelas, dan sejak dulu nyaris tak pernah ada interaksi antara kami. Peter yang saat ini berbeda jauh dengan dia yang ku kagumi tiga tahun silam. Dia yang dulunya pendiam dan pintar kini melambung menjadi pangeran kasta tinggi yang digilai para wanita. Postur tinggi dan wajah tampan miliknya berulang kali memborong perhatian para produser film untuk ditawarkan jadi artis atau bintang iklan, dan berulang kali ditolak karena menurut isu yang kudengar, menjadi artis bukan cita-citanya. Aku turut senang mendengarnya, bahkan teramat ingin berbicara langsung sekedar mengobrol dengannya. Sayangnya, Peter tipikal cowok yang dingin. Aku belum pernah mendengar ia dekat dengan wanita, apalagi punya pacar. Ah, sama saja. Otakku terlalu lelah memikirkan awal yang tepat untuk membuka obrolan dengannya. Alasannya cuma satu, karena berbicara pun nanti akan sia-sia.
Pernah suatu ketika, aku berpapasan dengannya di koridor sekolah, dan saat itu juga ku sunggingkan senyum termanisku dengan harap akan memperoleh perlakuan yang sama, namun wajah itu terlampau cuek seakan yang ku lakukan hanya angin lalu. Oh, mirisnya.
"Bilaaa!" sapa Nina, sahabatku. Kebiasaan buruk cewek centil ini adalah sangat gemar memberi kejutan disaat orang lain tenggelam dalam keseriusan. Salah satunya seperti saat ini. Aku yang lagi asyik nulis diary tentang Peter seketika gelagapan dan harus menyembunyikan wajahku yang merona.
"Eh, ngejutin aja, Loe!" Aku merespon Nina sambil menyembunyikan diary ini dalam cengkeraman tanganku di belakang tubuh. Entah mau taruh dimana lagi wajah aneh ku ini, sementara Nina terus menggodaku sambil mencoba merebut benda bersampul pink soft itu. Matanya lebih tajam dari seekor kucing yang mengintai tikus dibalik lemari.
"Hayoo! loe curhat lagi, ya? apaan sih loe, sahabat ada, ngapain curhat-curhat di dear diary segala, sok puitis!" Ujarnya berkacak pinggang.
"Huh, dasar! Pengen tau aja rahasia orang. It's secret. It is about feeling, susah buat diungkapin!" aku tak mau kalah seraya mejulurkan lidah padanya. Gadis itu berbadan mungil, tingginya selisih lima belas senti dariku.
Nina menatap mataku tajam, kemudian berjinjit seakan mendekatkan wajahnya ke depan wajahku. Dekat, semakin dekat. Hingga membuatku risih karena dilihat manusia-manusia yang bertengger di koridor. Mulutnya perlahan mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu.
"Loe harus tau, Bil, ini tentang Peter. Tu manusia robot udah pacaran sama boneka borbie".
Halilintar menjerit tepat di atas kepalaku. Giliranku yang menatap tajam Nina dan ia perlahan menjauhkan wajahnya dari tatapanku. Aku menunduk.
Sakit memang!
Sakit sekali rasanya.
Pria itu ternyata juga tertarik pada gadis cantik. Selama ini, banyak cewek cantik yang mendekatinya namun tak satupun yang digosipkan merebut hati Peter. Mulai dari Bellinda, senior yang mengerjai Peter habis-habisan saat pelaksanaan Ospek, sok garang, yang akhirnya diketahui sudah lebih dulu naksir Peter. Ada juga Reiza, cewek aktif organisai pemilik tubuh tinggi semampai, cantik luar dalam, namun gagal mendapatkan hati Peter. Selain itu ada Jelita, seorang yang tidak hanya cantik, juga pintarnya luar biasa. Dan banyak lagi perempuan-perempuan kece pengagum kelas berat yang akhirnya bernasib sama dengan Belinda, Reiza, dan Jelita.
Kini, habis sudah kesempatanku. Roger menjatuhkan pilihannya pada Yofanna, yang sering dijuluki "cewek barbie" karena wajahnya memang imut, dan tingginya mencapai 174 cm. Tapi Nina lebih suka menjulukinya "boneka Borbie", karena selalu membanggakan dirinya di depan khalayak. Menurutku, dibanding Yofanna, Reiza punya wajah yang tidak kalah cantik dan anggun. Dia juga ramah dan sangat peduli. Tapi, tentunya setiap orang punya selera yang berbeda, apalagi pria dingin seperti Peter.
"Woy! Apaan sih melamun? Kasih respon, kek?".Nina jengkel setengah mati mendapati sahabatnya yang memasang wajah cemburu.
"Respon? apanya? Ya baguslah berarti dia normal" jawabku berusaha meyembunyikan kekecewaan ini.
"Normal? Aduh, Biella. Coba sini tatap gue." Nina melekatkan kedua tangannya di kedua sisi wajahku. " Bilang sama gue, kalo loe baik-baik aja." Lanjutnya lagi. Aku menyingkirkan tangannya.
"Apaan sih, Nin? Yaudahlah. Biarin aja. Lagian dia juga cuma masa lalu gue. Nggak pen.."
Kata-kataku terputus ketika dua manusia yang diceritakan Nina itu berlalu di depan mata. Dua manusia yang sangat bahagia. Peter dan Yofanna. Berpasang-pasang mata pun iri melihat kemesraan mereka, terlebih aku. Kubalikkan tubuh 160 derajat agar pemandangan itu tak terlihat jelas. Kutundukkan pandanganku karena merasa hal ini lebih baik daripada harus memaksa menyaksikan bukti langsung berita dari Nina. Setelah derap langkah mereka kian terasa jauh, kuberanikan diri menatap sekitarku lagi. Dan orang pertama yang kulihat adalah Nina yang membelalakkan matanya tak percaya.
***
Sama halnya sepertiku, ibu juga tipikal wanita yang hobinya menyimpan perasaan. Ingin selalu ditebak bagaimana mood-nya setiap hari. Bukan cuma aku yang menyelinap dalam tumpukan tanya mengapa ibuku seperti ini, tentunya ayah lebih lagi. Namun ayah lebih terlatih dengan sikap ibu yang selalu minta diperhatikan. Ya, begitulah. Dan aku berharap akan jauh lebih baik saat menjadi istri dan ibu dari anak-anakku nanti. Pekerjaan sampingan ibu adalah membuka toko penyewaan kostum-kostum lucu. Yah, itulah bisnis sampingan keluarga kami dari Nenek. Semenjak Nenek meninggal, ibu menjadi satu-satunya penerus toko yang di dominasi oleh kostum tokoh kartun itu.
Dalam dua hari terakhir ini keadaannya jauh lebih baik. Senyum merekah dimana-mana bersama sebuket bunga mawar ditangannya. Ada apa lagi ini?.Entahlah. Aku menerka-nerka jika ibu sedang selingkuh. Namun, ketika ingin menyelidiki, langsung saja ibu menimpali bahwa bunga itu adalah kiriman dari anak laki-lakinya.
Siapa lagi itu?
Bisa dihitung berapa kali aku dibuat bingung dengan sikap ibu. Aku merupakan anak semata wayangnya, mana ada anak lain lagi? lebih hebatnya lagi, ayah masih saja bersikap cuek dan langsung percaya dengan pengakuan ibu. Begitu mudahnya. Tidak bagiku, karena aku dapat membaca ribuan kekeliruan ini. Karena banyak keganjilan lain yang menimpa ibu, juga diriku.
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...