Terik matahari membakar hampir seantero Jakarta. Tak terkecuali kampusku, berhubung banyak pohon cemara dan beringin disana, jadi panas yang terasa tidak terlalu menyengat. Beberapa mahasiswa memilih berteduh di bawahnya, melupakan tugas kuliah yang menuding mereka lebih tajam daripada belati jenis apapun. Beberapa juga memilih di kantin, berkelakar, sesekali dari mereka menjaili dan menggoda mahasiswi-mahasiswi cantik yang lewat. Yang di pustaka juga tidak sedikit, untuk menikmati wi-fi gratis juga membaca buku-buku menarik dan mendidik. Sedangkan aku, baru saja melepaskan penat di bangku kecil depan ruang, tidak memutuskan beranjak kemana pun karena selang 20 menit lagi mata kuliah lain akan masuk.
Handphone ku berdering. Sebuah pesan singkat dari Peter masuk.
"Biel, sorry udah seminggu nggak ngabarin, gue nggak sempat ngecek HP saking sibuknya kemarin-kemarin itu. Ampun.. deh. Mana tugas menumpuk banget. Oya, loe lagi apa? Sehat?"
Untuk pesan itu aku hanya membacanya. Tidak perlu dibalas karena memang nggak ada untungnya. Alasan itu terlalu nggak masuk akal dalam ukuran logikaku. Sesibuk apapun dia pasti menyempatkan diri mengabarkan, bukannya menunggu hingga seminggu lebih. Aku merengut kesal.
Layar di monitor HP menunjukkan huruf "R" artinya ia tau bahwa aku telah membaca pesannya. Dua menit kemudian ia menulis lagi.
"Yakin mau marah-marah? Ntar gue telepon deh. Oke?!"
Tak jauh beda dengan pesannya yang pertama. Aku juga hanya membaca pesan itu akhirnya Peter tidak berkutik lagi.
Biar saja.
Agar dia tau rasa.
Lima menit kemudian mahasiswa lain masuk ke kelas yang sama dengan teratur mengikuti gerak langkah pria setengah baya di depan mereka yang berjalan tegap. Aku berjalan terakhir di belakang mereka. Mungkin sudah seperti kerangka berjalan karena gerakku yang paling lemah.
"Lemes banget, Biel. Semangat!" Kalimat itu yang sudah ku dengar beberapa kali hari ini dari hampir seperempat mereka. Ku respon dengan senyuman tipis dan anggukan kepala.
Dosen kami yang akrab disapa Pak Sam itu menyapu pandangannya pada tiap mahasiswa dari ujung ke ujung. Ia bahkan hapal nama-nama kami yang jumlahnya empat puluhan di ruangan itu. Beruntung hari itu hanya sekitar tiga orang yang tidak hadir. Kalau lebih dari 10 manusia seperti minggu kemarin, tentu sebagai hukumannya, Pak Sam langsung melempar pertanyaan seputar mata kuliahnya pada kami yang jumlahnya tak seberapa itu. Begitulah caranya melampiaskan mood buruk beliau.
"Oke, masih ke pembahasan sebelumnya, yaitu invetebrata. Silahkan buka lagi catatan kalian dan saya beri waktu setengah jam untuk mengulang. Apabila ada kata-kata asing yang saya tanyakan dan kalian tidak tau jawabannya, silahkan belajar kembali di luar" Perintah Pak Sam. Tanpa perintah selanjutnya, semua mahasiswa melakukannya. Rio yang disebelahku alisnya mengkerut, mungkin ada sesuatu yang sulit disana, juga Betty yang gaya belajarnya harus bersuara hingga beberapa kali di tegur teman-teman lain namun ia tidak kapok.
Aku membuka catatanku, mencoba memahami dengan baik kata demi kata yang artinya semakin susah itu. Harus tiga kali membaca tiap kalimat agar benar-benar paham.
Kalau begitu, kapan kelarnya?
Handphoneku berdering lama. Tertera nama Peter disana. Sesegera mungkin ku reject panggilan darinya, mengalihkan perhatianku pada penjelasan dosen di depan. Semenit kemudian handphone itu berdering lagi. Terpaksa ku angkat setelah mohon izin pada Pak Sam.
"Apaan sih?" Tanyaku jengkel.
"Gue kangen elu" Balasnya.
"Gue lagi belajar, ntar aja telepon lagi"
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...