Bus melaju kencang meninggalkan SMA Cendikia Bangsa menuju puncak gunug. Pepohonan tanpa buah melambai-lambai mengikuti liku-liku jalanan acapkali menggores kekaguman pada para penikmatnya. Nyanyian kemenangan, nyanyian hits masa remaja, atau melodi-melodi gitar yang tidak seluruhnya kuhapal menjadi bingkai kedamaian remaja akhir yang sebentar lagi merasakan perpisahan. Pahit memang, namun hidup harus terus berjalan walaupun tangga demi tangga impian tak sempat terjalin selama SMA. Seperti aku, yang dulunya bermimpi akan bertemu cinta, tapi tak kunjung tiba. Seorang Salsabiela masih keras kepala mempertahankan satu lelaki di dalam hidupnya walaupun ditampar kenyataan pahit yang tak akan menang melawan ketulusan cintanya. Lupakanlah. Saat ini ada yang membuatku terbang mengitari angkasa. Aku berhasil menyelesaikan tugas dari Bu Muna tiga hari yang lalu di depan kelas bahkan mendapat tanggapan yang sangat baik hingga mereka yang menertawakanku dulunya memberikan dua jempol untuk Salsabiela yang belajar mati-matian. Sejak saat itu, aku tak henti-hentinya berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan guru privat yang membuatku tak perlu bolak-balik membaca buku tebal dengan milyaran kata-kata planet di dalamnya. Oh, senangnya.
Bus mulai menanjak pertanda sebentar lagi tempat yang dituju akan menyambut. Pukul lima sore. Perjalanan memakan waktu lebih lama dari yang kami duga. Disampingku, ada Nina yang entah berapa kali senyum-senyum sendiri menatap layar Handphonenya. Paling tidak, hanya berbicara padaku jika ingin buang air kecil atau mengusir kebosanan sejenak. Selebihnya Nina tenggelam dengan dunia fantasinya bersama Nazriel. Lelaki itu juga menanyakan kabarku tadi, hanya saja aku malas berinteraksi dengan Handphone bila sedang dalam perjalanan. Tuhan telah menghadirkan semesta yang indahnya menyejukkan hati dan mata. Mengapa harus berpaling pada benda persegi tak bernyawa dan membuat manusia lupa bila ada hal yang fantastis diluar sana.
"Yee... akhirnya nyampe juga" Kata Veronica diikuti pelampiasan perasaan lega anak-anak lainnya setelah enam jam dikepung dalam Bus. Berangsur-angsur turun dan melangkahkan kaki mereka di atas hamparan hijau.
"Udah nyampe, Nin" Ucapku sambil mengemaskan barang dan mengikuti langkah mereka.
Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini. Suatu Mahakarya Tuhan yang tiada bandingnya. Ribuan batang teh berjejer rapi dibawah bentang pegunungan hijau dan lembah landai. Di tengah-tengahnya ada para wanita setengah baya sedang menuruni lereng-lereng kebun sambil memikul keranjang penuh berisi daun teh murni yang siap dipanen. Luar biasa. Siapapun yang melihat keajaiban ini pasti memohon agar mata mereka tak berkedip sedetik pun bila memungkinkan.
Gerombolan-gerombolan siswa-siswi berlarian di perkebunan untuk berfoto ria dan beberapa lainnya hanya bertindak sebagai penonton. Ada juga dua sejoli yang mengasingkan diri mereka dari keramaian dan menikmati keindahan sekitar tempat perhentian Bus ketika guru-guru, termasuk Pak Helmy sedang mengatur schedule dan administrasi villa guna kami tempati.
"Biel, Biela! Ayookk!" Teriak seseorang di ujung sana. Aku cekikikan ketika melihat Nazriel dan Nina yang sudah berada di tepi kebun teh untuk ber selfie. Aku menggeleng. Membiarkan mereka terhanyut dengan kebersamaan yang telah dirancang sebaik mungkin. Kedua sahabatku itu tampak bahagia dan biarlah aku yang menjadi pengagum setia kemesraan mereka.
"Ah, kamu romantis banget sih, Beb.." Kata seorang wanita kepada pria yang dicintainya di atas sepeda. Tak kalah menarik, Peter membonceng Yofanna mengelilingi lereng-lereng kebun. Romantis sekali. Tanganku tanpa sengaja mengeluarkan kamera dan "KLIK!". Aku memfoto kebersamaan mereka dari jauh. Nazriel dengan Nina. Peter dan Yofanna. Hasilnya lumayan bagus dan tepat ditempel di mading sekolah. Yah, walaupun hatiku ini ditikam dan berdarah. Hiks!
"Anak-anak! Berkumpul semua!" Perintah Pak Helmy. Dengan langkah malas berpasang-pasang kaki saling bertemu untuk mendatangi sang empunya mendengar titah Pak Helmy. Aku bangkit dari posisiku yang dari tadi duduk bersila. Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di bahuku. Aku menoleh, dan ternyata Nazriel dengan senyuman khasnya. Aku menjelajah pandangan untuk mencari keberadaan Nina agar dia tidak berpikir macam-macam.
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...