WE ARE BEST 'FRIEND'

10 2 0
                                    

Nina merangkul bahuku dari belakang. Wajahnya tampak cerah dari hari-hari biasanya. Benar saja. Mulut Nina dari tadi tak pernah berhenti bercerita tentang malam minggunya bersama Kak Haura, kakal tercintanya yang mengenalkannya pada seorang teman laki-laki yang bernama Marco. Tampan, tubuhnya Atletis, baik sekali, begitu katanya. Aku sempat menebak jika sahabatku ini sedang jatuh cinta pada pria yang bernama Marco itu, tapi kali ini salah besar. Karena Nina juga tak kalah cerewetnya menanyakan kelanjutan cerita permintaan terima kasihku pada Nazriel.

Tanpa pikir panjang lagi, aku mulai bercerita panjang lebar padanya. Mulai dari momen kaku ketika aku mengejutkannya dengan daun cemara, hingga riwayat chatting kami malam itu yang membuat Nina cekikikan sendiri sementara matanya memelototi layar HP ku. Tiba-tiba, ia loncat kegirangan di koridor sekolah hingga aku dibuat malu oleh tingkahnya saat itu. Buru-buru kutarik lengannya dan ku ajak dia menstabilkan kondisi jiwanya di tempat yang lumayan sepi.

"Ah, loe yang bener aja, Biel? Ini beneran Nazriel? Dia titip salam sama gue, Bil?", Nina sumringah sambil mengibaskan rambut dan merapikannya melalui jari-jari tangan

"Apa perlu kita ke kelas dia dan ngecek nama panjangnya? Apaan sih loe? ini Nazriel. Cowok idaman loe, Nin" Jawabku.

Nina memelukku erat saking bahagianya.

"Eitss.., tunggu dulu, Nin". Aku melepaskan pelukannya. "Loe bener kan mau jadi badut?"

Nina terdiam sejenak kemudian mencubit pipiku gemas.

"Mau banget dong, Bil. Apa sih yang nggak buat loe.."

"Buat gue atau buat Nazriel?"

"Ehm.. dua-duanya"

Kami tertawa bersamaan lalu meninggalkan tempat itu. Melihat Nina tertawa, ada kebahagiaan tersendiri untukku. Nina adalah keajaiban yang diberikan Tuhan. Dia lebih dari sahabat, bahkan aku sudah menganggapnya kakak. Sifatnya 80 persen hampir sama denganku. Aku sulit mengungkapkan perasaan tertarikku pada Peter, begitu juga Nina yang hampir tiga tahun mengagumi Nazriel diam-diam. Aku mencintai kebebasan, begitu juga Nina. Perbedaan yang tampak diantara kami salah satunya ada ketika kami dihadapkan pada masalah masing-masing. Nina dengan mudahnya menceritakan masalahnya padaku, itu membuatnya lega dan masalahnya menjadi lebih ringan, sama seperti yang dikatakan Nazriel. Sedangkan aku, lebih nyaman menyimpan masalah itu. Aku tak akan membiarkan orang lain tau bila aku sedang sedih atau punya masalah berat. Biar aku saja yang menghadapinya. Jika seseorang seperti Nina dapat membaca kesedihan itu dari wajahku, aku tak segan-segan menghukum diriku sendiri karena telah membuat wajah yang telah kubuat tertawa kembali bersedih. Ya, itu aku.

Kami berjalan seirama. Langkah kami terhenti ketika lewat di taman koridor sekolah. Seperti biasa, Nazriel dengan ramahnya berbagi ilmu pada teman-temannya. Dan kali ini, bukan hanya anak angkatan kami yang berada disana, bahkan adik leting pun tak kalah mendominasi. Entah untuk menikmati wajah teduhnya, atau benar-benar ingin belajar. Aku menangkap sesuatu dari wajah-wajah mereka yang berbinar-binar. Sama seperti Nina-ku yang terkesima dengan objek kami. Wajah-wajah disana, wajah Nina, menggambarkan ketertarikan pada laki-laki yang bernama Nazriel itu. Tidak denganku, karena aku sedang tidak memperhatikan Nazriel, aku malah terpesona dengan tubuh atletis yang sedang mendrible bola basket itu. Peter dengan lincahnya memasukkan bola ke ring. Perfect. Tubuhnya dibasahi keringat yang semakin membuatnya maskulin. Tapi lagi-lagi si manusia Borbie itu berdiri di tepi lapangan sambil membawa handuk dan sebotol air mineral. Uh, mengapa harus dia yang disana?. Seharusnya aku yang di pinggir itu memakai kostum badut lucu sambil meneriakkan nama Peter sekencang kencangnya agar dia lebih semangat. Jika seperti Yohanna yang hanya mengandalkan seragam sekolah begitu, menoton sekali, bukan?. Tidak kreatif. Apa pun ceritanya, aku tak peduli. Bukan perempuan centil itu yang membuat jantungku berdegup cepat, tapi pacarnya. Aku tidak peduli, aku bahkan bertekad akan terus mencintai Peter walaupun dia menikah dengan Yohanna atau gadis lain. Aku memang segila ini pada makhluk yang satu itu.

Stuck In MemoriesWhere stories live. Discover now