Dua tahun berlalu. Dua tahun setelah kepergian Peter meninggalkanku tanpa sebab. Saat itu Tante Margareth yang menjaganya tiba-tiba pergi mengurus administrasi saat Peter sedang tertidur. Seketika itu juga sakit kepalanya kumat lagi dan tak ada yang melihat. Peter jatuh tergeletak tak sadarkan diri dan ketika ditemui sudah dalam keadaan tak bernyawa. Dokter pernah bilang benturan di kepalanya sangat hebat sehingga perlu pengawasan ketat agar Peter tidak terlalu banyak berpikir sehingga meminimalisir sakitnya. Namun sampai waktu itu, Tuhan berkehendak lain, Peter tak tertolong lagi sementara tak satupun mengetahui ia sudah terkulai. Entahlah, itu cerita mereka. Yang penting sekarang, aku cukup berdamai dengan semua ini. Berdamai dengan waktu dan kenyataan yang membuktikan bahwa ia tidak akan kembali lagi meskipun cintaku padanya tetap. Peter adalah keajaiban dari setiap detik berharga dihidupku selamanya.
Kulalui hidup ini dan yakin langit tidak akan selalu mendung. Aku harus bahagia bersama mereka yaang hingga saat ini menjadi pelengkap hidupku. Bersama Ibu dan Ayah, Nazriel juga Nina, aku akan mendekap mereka selalu.
Dua tahun berlalu. Umurku 23. Kata Ibu, itu waktu yang tepat agar anak gadisnya ini menikah. Ya, menikah. Tapi dengan siapa? Aku bahkan tidak tertarik dengan laki-laki manapun selain Peter. Kesibukan kampus dan kesibukan lain dalam keseharianku membuatku perlahan melupakan rinduku padanya. Sungguh, aku sama sekali belum menemukan penggantinya, kecuali seseorang itu. Rindu untuk sekedar bertanya, sudah sampai mana rancangan rumah masa depannya di kebun teh desa Ratusari yang pernah ia ceritakan dulu?.
"Kamu pernah bilang, suatu saat akan berdamai dengan semua ini" Nazriel menyela sikutku pelan.
"Enggak sekarang, Zriel. Bukan ini waktunya, dan bukan dia orangnya" Jawabku.
"Apa Mas Pranata terlalu buruk?"
Aku menggeleng.Tidak juga. Pranata adalah incaran para wanita. Siapa yang mau menolaknya, aku mungkin juga tidak menolak, tapi jika lebih dulu mengenal Pranata daripada Peter dan Nazriel. Pranata terlalu terlambat hadir dalam hidupku pada suatu kenyataan yang sama sekali belum pernah aku pikirkan. Pranata adalah kakak tiri Nazriel. Ya, laki-laki berbaju hitam yang kutemui saat ayah Nazriel meninggal dulu di rumahnya. Yang tanpa sengaja menabrakku tanpa berkata-kata banyak. Aku pikir dulu, setelah Peter pergi, Nazriel akan menjadi penggantinya.
Perasaan ini tak mampu ku tepiskan lagi. Aku mencintai Nazriel. Sejak kami bertukar kabar lewat social media, atau mantra cintanya lewat puisi-puisi yang ia tuliskan atas suruhan Peter, meskipun sahabatku juga menyukainya. Aku jahat, aku orang paling tega pada sahabat dan pacarku sendiri. Dibalik semua itu, aku lebih mencintai Peter, terlebih lagi pada Nina.
"Biela yang aku kenal nggak mudah larut sama masa lalu. Seluruh dunia tau kamu sangat mencintai Peter, tapi Peter di sana juga marah kalau kamu masih mengharapkan dia untuk hidup kembali" Ujar Nazriel. Terdengar kekesalan dari nadanya berbicara.
Aku menarik napas panjang. Ingin sekali menjeritkan perasaan ini padanya. Padahal tinggal jujur saja bahwa aku lebih mencintai Nazriel daripada Pranata. Apa susahnya?
"Ibu kamu berulang kali nyuruh aku untuk meyakinkan kamu agar mau menerima pinangan mas Nata. Semua orang tua di dunia ini pasti ingin anak perempuannya bahagia bersama orang yang benar-benar menyayanginya, tapi kamu..." Nazriel melanjutkan pembicaraan itu. Tapi hatiku gerah, kali ini menyingkap mulutku yang terkatup rapat, yang setengah jam lalu berusaha ku kunci agar rahasia ini tidak terbagi padanya.
"Tapi kalo gue malah mencintai loe gimana, Zriel?!" Ucapku lantang. Nazriel terhenyak. Mukanya pucat bak ditampar habis-habisan oleh kalimatku tadi.
Aku menunduk."Gue suka loe, sejak loe mulai menjadi malaikat gue di SMA dulu, juga semenjak loe yang buat gue khawatir sepanjang malam karena seminggu lebih nggak datang ke sekolah." Aku menarik napas panjang mencoba menyambung kata-kata yang susah payah ku ungkapkan. "Sejak Nazriel menuliskan puisi-puisi itu yang membuat Salsabiela kesal bercampur curiga, tapi disisi lain gue juga sangat menyayangi Peter. Gue bingung sama perasaan ini yang mencurangi Nina dan Peter secara bersamaan. Dan setelah keduanya pergi, loe juga menutup rapat hati loe untuk gue dan merelakannya buat kakak loe sendiri. Loe jahat, Zriel!"
Laki-laki yang dihadapanku itu tercengang. Tangannya bergetar meraih tubuhku dan mendekapnya. Ia membelai rambutku yang sebahu yang tertiup angin pada senja di pelabuhan itu.
"Biela, seandainya skenario Tuhan bukan seperti ini, aku siap melamar kamu kapan pun kamu mau. Kamu tau, perasaanku hingga saat ini nggak pernah berubah. Aku suka kamu. Bila nggak mempertimbangkan hati Peter, Nina, dan Mas Nata, aku mungkin udah nekat bilang ini. Tapi maaf, jika kamu suruh aku pilih, aku terus terang akan memilih mas Nata. Bukan untuk aku, tapi untuk kamu."
Aku melepaskan pelukannya. "Kenapa?"
"Mas Nata orang yang tepat untuk kamu. Dia sudah mapan. Yang pasti bisa merubah Salsabiela menjadi bunga yang terus harum dan terhormat. Aku belum bekerja. Bahkan untuk kuliah aja aku masih bergantung sama orang tua, terlebih dari mas Nata. Dengan aku, kamu nggak akan menjadi lebih baik" Suara Nazriel bergetar. Dia bohong, aku yakin itu. Sepertinya pria di depanku ini begitu gigih mengorbankan perasaannya demi kakak tirinya itu. Tapi bagaimana dengan aku?
Aku berjalan menjauh menatap laut lepas. Kurasakan langkah Nazriel mengikutiku. "Apa dengan cara mengorbankan perasaan kita, akan membuat gue menjadi lebih baik?" Tanyaku.
"Bukan hanya kamu, tapi aku juga, Biel. Aku cukup menjadi sahabat yang bahagia bila sahabatnya bahagia. Banyak cita-cita yang harus aku kejar, dan kamu nggak akan sanggup nunggu aku. Menikahlah dengan Mas Nata..." Ucapnya terdengar samar.
Ku berikan senyum pahitku saat itu padanya. Aku berjalan mundur meskipun ia mengejar. Aku membalikkan badan dan seketika Nazriel dapat menyamai langkah kakiku.
"Jangan kejar gue lagi. Loe sukses menciptakan perasaan yang gue benci lagi. Gue harap, nggak ada lagi pengorbanan perasaan gadis-gadis lain setelah gue nanti." Air mataku keluar dari kedua sudut bola mata.
Nazriel meraih tanganku namun kulepas dengan tegas. Aku terus berjalan dan Nazriel mengikuti perintahku. Segala perasaan yang pernah menjadi bibit-bibit dulu telah kuhempaskan jauh ke dalam laut. Perasaanku campur aduk tentangnya. Nazriel tertinggal lima puluh langkah dariku. Mungkin teriakannya memanggil namaku hampir tidak terdengar. Sementara itu kira-kira lima puluh langkah di depanku, Pranata hadir, memasang senyum ramahnya. Entah dari mana ia tau aku dan Nazriel berada disini.
"Biela!" Teraknya lantang. Ia berjalan mendekatiku yang terdiam. Dibelakangku Nazriel masih tertinggal, mungkin melihat pemandangan ini. Pranata tersenyum lagi, senyum yang memaksa air mataku berhenti keluar. Dengan mudahnya ia mengeluarkan sapu tangan bersih dari sakunya dan mengelap air mataku. Ia tak bertanya perihal aku menangis, melainkan meraih tanganku untuk berjalan beriring dengannya. Aku menoleh ke belakang. Benar, Nazriel masih melihat pemandangan ini tanpa bersuara. Pandanganku beralih pada wajah Pranata yang menuntunku.
Saat itu juga perasaanku mulai berkata-kata. Ini tentang cerita cinta yang tidak terdapat pada mimpi-mimpi indahku, juga tidak tercatat pada diary yang mengumpulkan rangkaian peristiwa campuran dalam hari-hariku, dua lelaki yang kucintai itu, akhirnya tidak denganku, ya, tidak seperti angan-anganku dulu.
Mungkin lelaki yang berjalan beriringan denganku ini adalah rahasia Tuhan yang akan ku ketahui mulai detik ini. Iya, mungkin dia. Dalam momen ini, ku yakin dia adalah malaikatku yang sebenarnya. Yang suatu saat akan menuntunku lebih baik dan lebih lebih baik lagi.
Pelajaran yang bisa kau ambil dari kisahku ini adalah bahwa cinta yang kau genggam saat ini bisa jadi menghilang suatu waktu dari celah-celah jarimu. Maka jangan terlalu kuat ataupun lemah menggenggamnya. Cukup dirasakan dan biarkan waktu yang membuktikan seberapa lama ia akan nyaman bersamamu. Karena cinta sejati itu adalah orang yang tepat pada waktu yang juga tepat. Biarlah cinta yang bukan ditakdirkan itu terbang melambai bersama angin, akan ada masanya Tuhan memberikan cinta terbaik yang layak untukmu. So, jalani saja!
...SELESAI....
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...