Kampus yang terkenal dengan jurusan teknik ini sudah menjadi primadona bagi para alumnus SMA yang hobi pada bidang sains dan teknologi. Mewahnya juga tak seberapa bila dibandingkan kampusku yang memiliki laboratorium terluas di Jakarta. Menjadi mahasiswa baru memang tak seseram yang ku bayangkan terutama ospeknya. Menurut cerita, ospek itu menakutkan, seru, dan kesempatan bagus untuk kenalan dengan senior-senior cakep.
Dua tahun lalu, setelah tamat dari SMA, kisah baru dimulai. Kami berada pada jurusan dan kampus berbeda. Kecuali Nazriel dan aku, Tuhan mempertemukan kami pada kampus sama namun jurusan berbeda. Aku terdaftar sebagai mahasiswa jurusan MIPA Biologi, sedangkan Nazriel di jurusan Teknik Metalurgi, jurusan paling sulit ditembus pada kampus itu. Lain halnya Nina yang memilih mendalami ilmu agama di Pesantren di daerah kampungnya atas saran dari kakak-kakak Nina. Benar juga, Nina perlahan nyaman berada di sana walaupun awalnya terasa asing. Sedangkan Peter pada jurusan Teknik Arsitektur di Surabaya. Berjam-jam jauh dari kami, dari aku pastinya.
Sehari lalu aku tiba di Surabaya untuk berkunjung ke taman budidaya ikan air tawar sesuai instruksi dosen. Tentunya terletak di lokasi yang berjauhan dari kota. Sebelumnya ku sempatkan memberitahu Peter dan laki-laki itu menyambut antusias. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Surabaya ia berceloteh panjang lebar tentang proyek barunya di desa Situbondo yang tidak ia jelaskan sejenis apa. Sombong benar ia, baru semester dua saja sudah melakukan proyek besar. Tetap saja, orang sepertinya tidak akan mempan bila kerja kerasnya di remehkan begitu saja. Menurutnya, semua yang ia kerjakan adalah benar walaupun yang mendengar kemudian tewas seketika. Dasar aneh.
Untungnya sore ini adalah jadwal kosong kelompokku, dosen mata kuliah itu mengijinkan kami bersantai sejenak dan kuputuskan menemui pacarku itu, karena jarak penginapan ke kampus Peter hanya sekitar empat puluh menit. Lagi pula istirahatnya sampai malam dan aku aku benar-benar rindu padanya, kami berpisah hampir setahun dan kebetulan setelah mata kuliah sore ini, ia libur esoknya.
"Mbak, mahasiswa semester berapa ya?" seketika aku tersentak ketika seseorang menarik rambutku dari belakang kemudian duduk disampingku.
"Sialan, loe!" seruku saking terkejutnya melihat tampilan Peter yang luar biasa aneh. Rambut acak-acakan, pakaian lusuh seperti belum disetrika, lebih tepat disebut gelandangan dari pada pacar.
"Kenapa liatin gitu banget?"
"Siapa sih loe?" Tanyaku memasang wajah angkuh
"Loe siapa?" Peter melipat tangannya ke dalam. "Ini kan kampus gue"
"Gelandangan ngapain kuliah segala? Cari kerja, noh!"
Tawa Peter pecah. Ia mengacak-acak rambutkku.
"My new style" Ucapnya sambil tersenyum bangga dan duduk disampingku.
Aku melihat detail tampilannya.
"Dari tadi gue duduk disini asik ngeliatin cowok-cowok tampilan urak-urakan kaya gelandangan. Trus gue doain dalam hati biar cowok gue nggak kayak gitu. Nah, ini jadinya, nyesel gue kesini. Mending balik." Aku membuang muka dari hadapannya.
"Yaudah deh, iya, iya. Gue kayak gini cuma disini aja kok, tapi buat jalan-jalan sama pacar gue, ya harus tetep ganteng".
Peter mulai berdiri. Jemarinya menarik lenganku.
"Udah, kita pergi sekarang. Jangan sok lama duduk disini, tiga hari itu sebentar. Ikut gue!"
Kami berjalan bergandengan tangan hingga di parkiran. Peter mengemudikan mobilnya beberapa meter dari kampus, kemudian masuk ke rumah kos dan berganti penampilan jauh lebih bagus. Ia menenteng ransel hitam di punggung. Jadilah aku yang bingung akan di ajak kemana.
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...