PENGAKUAN SELEMBAR KERTAS

6 2 0
                                    


Seminggu setelah kepergian ibunya Nazriel. Seluruh SMA di Indonesia serentak merayakan Ujian Nasional. Tidak ada kunci jawaban dari sekolah, tidak ada manipulasi nilai, semuanya murni hasil kerja keras dan doa. Begitulah beberapa kata yang bisa kutangkap dari pidato terakhir kepala sekolah. Siswa bandel seperti Peter dan komplotannya memprotes habis-habisan di tengah lapangan, menghardik bahwa tindakan itu tidak adil sementara siswa sekolah lain dibantu tanpa terkecuali. Lain halnya bagi siswa pintar seperti Nazriel, di situasi seperti ini dia masih terlihat santai. Kedua tangan menyusup ke dalam saku celana, dan senyuman meremehkan. Aku dan Nina hanya bisa mengangkat bahu, mengikhlaskan apa yang terjadi dengan nilai akhir kami.

"Sekolah mana yang tega dengan hasil akhir siswanya yang buruk, bapak sanggup mendengar sekolah kita memperoleh peringkat terakhir Ujian Nasional?" Protes Gilang, sekomplotan dengan Peter. Pak Hendri, Kepala sekolah kami yang sedang di atas podium melepaskan kacamatanya berlensa bening, kemudian menggantinya dengan lensa hitam. Hal itu sudah menjadi kebiasaan beliau ketika ada hal serius yang harus ditangani.

"Sekarang saya tanya, kepala sekolah mana yang sanggup mempertanggung jawabkan kecurangan di akhirat nanti. Kamu mau menanggung dosa saya?" Semua yang hadir tertawa. Gilang tersenyum ketus.

"Pak, hari gini mana ada yang mikirin akhirat lagi. Udah basi!" Yofana ikut nimbrung. Diikuti persetujuan oleh temannya yang lain. Serentak dewan guru menatap tajam Yofanna.

Ferdy mengambil alih. "Masa depan sekolah ini juga bergantung pada lulusannya, Pak. Kalau terdengar kabar nilai kami pada buruk, otomatis orang tua mana yang mau menyekolahkan anaknya disini?"

"Betul tu, Pak. Kami setuju. Sekolah ini adalah sekolah unggulan. Apa kata masyarakat kalau tau nilai siswanya jeblok?" Tissa menambahkan. Yang lain mengiyakan.

Segera Pak Karno, guru olahraga menuju ke arah beberapa orang yang mengatakan pendapatnya secara vulgar itu. Tangannya siap menyeret mereka dan menghukum lari keliling lapangan seperti yang biasa ia perintahkan pada siswa yang melanggar aturan. Saat itu juga Pak Hendri mengangkat tangan kanannya memberikan aba-aba agar Pak Karno tidak melakukan hal itu. Lelaki 60 tahun itu kali ini turun dari podium, bergerak beberapa langkah ke depan meninggalkan microphone dan menghentikan langkahnya tepat diatas rerumputan lapangan seperti yang kami injak. Dia kembali berbicara, kali ini tanpa pengeras suara. Pelan-pelan ia membuka kacamatanya hingga gurat wajahnya yang berubah dua kali lebih serius terpampang jelas.

"Karena saya pemimpin, maka dunia ada dalam genggaman saya. Saya bisa berbuat apa saja, termasuk memberikan kunci jawaban dengan jalan yang paling mudah. Tapi suatu hari, saya tidak ada apa-apanya. Akhirat menggenggam saya yang lebih dahulu menggenggam dunia. Lantas? Apa yang bisa saya lakukan kecuali menjelaskan tentang hal buruk dan hal baik yang pernah saya lakukan pada genggaman saya. Karena kalian kenal baik sekolah ini memiliki citra baik dihadapan masyarakat. Menghasilkan lulusan berdaya saing tinggi. Tahun lalu, tidak ada kunci jawaban, namun abang dan kakak kalian lulus dengan nilai membanggakan. Kalaupun kali ini kalian mendapat nilai buruk, masyarakat tidak langsung menilai sekolah ini buruk, karena keburukan baru datang sekali sedangkan kebaikan telah datang beribu-ribu kali. Sesuatu yang baik, akan selalu dikenal baik. Harapan saya, guru-guru, dan orang tua kalian sangat besar. Apa artinya bila disia-siakan dengan hal buruk seperti ini?. Jika pilihan kalian adalah kunci jawaban, maka saya sangat menyesal bisa menerima kalian di sekolah ini".

Para siswa terdiam. Beberapa lagi berbisik-bisik merencanakan cara yang tepat melawan argumen dan keputusan kepala sekolah. Aku terpukau. Diam-diam setuju dengan pendapat beliau yang sungguh bijak dan tepat. Andai semua kepala sekolah seperti ini, kecurangan tak akan terjadi dimana-mana. Sayangnya populasi orang bijak seperti beliau semakin berkurang.

Stuck In MemoriesWhere stories live. Discover now