PEMILIK TATAPAN TEDUH

16 3 0
                                    

Nina menarik-narik lengan bajuku di balik tiang koridor sekolah. Sikapnya yang menyebalkan itu tentu membuatku merasa risih. Amat risih. Lihat saja, aku tengah semangat-semangatnya meneropong laki-laki itu yang sedang dikerumuni cewek-cewek centil dan dia tetap saja tersenyum. Jika aku jadi dia, bukan tidak mungkin semua dedemit-dedemit (cewek-cewek centil) itu sudah habis ku basmi dengan tongkat ajaib. Ya, begitulah tepatnya. Sayangnya, aku bukan dia yang begitu ramah dan menyenangkan. Aku pikir, kalian pasti mengerti siapa yang kumaksud itu. Ya, Nazriel. Dengan kondisi dan situasi seperti saat ini, orang yang melihatnya bahkan segan untuk sekedar menyapa Nazriel.

"Biel, nggak usah sekarang deh bilang terima kasihnya. Kalo loe maksa tetap mau bilang sekarang, nggak ada bedanya sama dedemit-dedemit itu. " Saran Nina yang pikirannya hanya nol koma satu milimeter bedanya denganku.

"Iya juga, sih Nin, tapi loe kan juga pengen kenalan sama dia. Kapan lagi, coba? Empat bulanan lagi juga kita bakal ninggalin sekolah ini. Nah, terus mikir deh, kapan bisa ketemu dia lagi?" Jawabku.

Nina menggumam.

"Iya juga, sih Biel. Tapi gimana caranya mau kenal? Buat nyapa dia aja susah,"

"Kita tunggu bentar lagi aja deh, Nin. Ya, ya?" Aku meyakinkan Nina.

Nina mengangguk pelan dua kali. Jika bukan karena kebaikannya menolongku tadi pagi, mungkin aku juga tidak sesabar ini menunggunya.

Selang beberapa menit kemudian, aku seperti mencium sesuatu. Sesuatu wangi-wangian yang sangat khas di hidungku. Benar saja, dua sejoli itu lewat tepat di depan mata kami. Tubuh mereka bahkan menghalangi teropongku untuk mengintai Nazriel. Yofanna dan Peter. Kedengarannya seperti pasangan Raja dan Ratu Inggris. Cocok. Tapi aku tidak suka. Peter seharusnya bersamaku, bukan dengan si Borbie itu. Setiap kali berpapasan, Peter bahkan melihatku walaupun tatapan matanya sangat sinis. Mungkin maksudnya agar aku mengatakan terima kasih karena telah melempar sapu tangan lebar itu tepat di hidungku beberapa detik sebelum pingsan sambil memasang fake smile. Boleh saja, asalkan cewek Borbie itu sedang tidak bersamanya saat itu.

Mereka melangkah semakin jauh. Aku tak lagi peduli. Tanpa perintah, jemari lentik Yofanna seketika meraih benda optik bermata dua itu dari genggamanku. Aku menoleh, dan lagi-lagi Yofanna menganggap semua yang kami lakukan tidak lebih dari sekedar lelucon.

"What a stupid thing, hahahahaha" Ejeknya ambil menjatuhkan teropong itu ke lantai kemudian berlalu pergi dan menggandeng tangan Peter.

Aku dan Nina bertatapan. Secepat kilat kugerakkan tanganku ingin melempar teropong ini ke kepala bundar Yofanna yang segera dihentikan oleh Nina. Aku geram sekali padanya. Apa maksudnya mempermalukanku di depan Peter?.

Kalau saja Nina tidak cepat menahan tanganku, mungkin kepalanya sudah benjol di tengah. Tiba-tiba Handphone Nina berdering dan sesaat kemudian dia pamit padaku untuk pulang lebih dulu karena Ibunya mendadak sakit dan ku tanggapi dengan sikap prihatin.

Bayangan Nina tenggelam dalam kejauhan. Aku melanjutkan kembali misiku. Hal utama yang harus diputuskan adalah hanya aku yang akan menemui Nazriel, berbicara padanya untuk pertama kali, seorang diri, dan harus sesabar mungkin menunggu hingga dedemit-dedemit itu pergi. Hanya untuk hari ini. Karena aku tidak suka menunda sesuatu. Yah, itu saja.

Tiga puluh menit setelah kepergian Nina. Aku tetap disini dan beruntungnya perempuan-perempuan centil itu jumlahnya perlahan berkurang. Hanya satu cewek saja yang terlihat ngobrol satu bangku dengannya. Mereka memiliki raut wajah yang sama seriusnya hingga cukup memberiku alasan untuk berdiri lama disini

Tak lama setelah itu, gadis bertampang serius itu pergi meninggalkannya seorang diri. Ya, saat yang kutuggu akhirnya tiba. Aku menarik napas panjang. Lelah sekali. Lima langkah dari tempat pengintaian tadi cukup meyakinkanku bahwa dia benar-benar sendiri. Jemarinya tampak fokus menuliskan sesuatu.

Stuck In MemoriesWhere stories live. Discover now