"Assalamualaikum, Pagi, Pak. Ini laporannya sudah siap sesuai perintah"
Aku meletakkan laporan dengan tebal lima belas halaman itu tepat di atas meja Pak Helmy yang sedang membaca koran. Lelaki paruh baya itu menurunkan surat kabar itu setingkat dadanya. Laporan itu hanya di bolak-balik saja kemudian di sodorkan kembali kepadaku.
"Bukannya laporannya sudah diserahkan kemarin siang?" Tanya Pak Helmy.
"Maksud Bapak?"
Sebuah makalah bersampul biru yang sama tebalnya diserahkan Pak Helmy.
"Kemarin siang, Peter yang memberikan ini"
Aku melihat cover laporan itu dan benar, namaku dan nama Peter ada disitu.
"Nama lengkapmu Salsabiela Saffarizky, kan?" Tanya lelaki itu lagi. Aku mengangguk. Setelah berbincang-bincang sebentar, kuputuskan untuk pamit hingga ketika akan membuka pintu, Pak Helmy kembali memanggilku.
"Salsabiela, kamu begadang ya?" Tanyanya sambil menunjuk area bawah mataku yang sudah pasti tak jauh beda dengan mata panda. Ku balas dengan senyuman dan cepat-cepat menghilangkan jejak dari Pak Helmy.
Hatiku geram seakan ingin mencabik-cabik wajah Peter. Dia berhasil mempermalukanku di depan guru bukan hanya tentang laporan. Namun juga kantung mata yang menjadi daya tarik siapapun yang menyadari perubahan ini. Tiap kali berpapasan dengan orang lain pasti mereka bertanya atau malah mengejekku. Begitu menyedihkan tampilanku hari ini. Mata cekung, pandangan samar-samar, dan mulut yang menguap tiap 15 menit. Kalau saja dia lebih dulu memberi tau penyerahan laporan itu, tentu semuanya tak akan menjadi sekonyol ini.
Itu dia. Manusia yang dari tadi menjadi tersangka tunggal yang akan ku habisi tanpa sisa. Dengan santai ia tersenyum dari kejauhan melihat perempuan bodoh yang menggenggam laporan sebagai tanda keberhasilannnya.
Kini aku dan dia saling berhadapan. Matanya melirik sekilas pada lembaran-lembaran yang kupegang itu. Kali ini giliranku yang menatapnya tajam walaupun Peter tertawa geli dan aku mengerti maksudnya. Kantung mataku lagi-lagi menjadi objek bahan candaan laki-laki ini.
"Eh, gimana laporannya, udah siap?" Tanyanya sambil melipat tangan ke arah dalam berlagak seorang Direktur yang menagih laporan dari bawahanya.
Aku menempelkan laporan itu di dadanya secara keras.
"Gue memang bego'. Puas loe!"
Aku berlalu. Tak ku hiraukan lagi panggilannya meskipun panggilan itu yang dari dulu kurindukan. Panggilan dari seseorang yang membuatku melupakan semua panggilan lain. Aku mencintai suaranya. Tidak kali ini. Aku membenci seseorang itu. Aku mengutuk semua hal tentang dirinya.
***
Gadis mungil itu memutar-mutar mainan kunci berbentuk sepatu boots berkali-kali. Di depannya tergeletak sebuah buku absen milik kelas lain yang ia curi entah bagaimana. Ia lama mematung bersama tatapan kosong tanpa berpaling. Setiap kali ku tanya mengapa, ia menggeleng. Belakangan ini juga dia yang kerap kali kurang fokus pada pelajaran dan tertangkap basah oleh gurur sedang memainkan handphonenya. Nina masih terpaku seperti ini. Diam dalam kebisuan dan terdampar entah dimana.
"Dia menghilang, Biel" Ucapnya seketika sambil terus memutar-mutar mainan kunci itu.
"Nazriel?" Nina mengangguk. Aku menggenggam tangannya, menyalahkan diriku yang terlambat menyadari bahwa seorang sahabatku itu sudah lima hari tidak terlihat lagi. Semenjak dia menolak membantuku dan pulang lebih awal dari panti asuhan di waktu itu, Nazriel sudah berkelana entah dimana. Kami sudah mencoba menghubunginya lewat nomor telepon dan social media namun laki-laki itu juga tidak menunjukkan keadaannya, atau berkali-kali berkunjung ke rumahnya dua hari lalu, dan menolak diberitahukan keberadaannya lewat pembantu rumah tangga.
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...