Tubuh atletis itu terbujur kaku. Ruangan berbau menyengat itu hanya dipenuhi lima orang. Namun tidak kutemukan tawa disana, suara seraknya juga terpelintir entah kemana. Segalanya membisu dengan kesunyian. Sesekali kugapai tangannya yang dipasang infus tadi pagi, sejak kudengar keadaan pacarku ini tidak baik-baik saja. Semenjak ia mengganti cemoohannya yang setiap kali kudengar dengan darah-darah segar menetes dari kepalanya. Inikah alasan yang membuatnya berhenti membuatku marah?
Elektrokardiogram menunjukkan grafik tidak beraturan. Tak apa, aku juga tidak lihai membacanya. Yang hanya ingin kudengar bahwa Peter akan pulih segera. Ya, segera. Secepatnya sebelum kata-kata yang saat ini kutakutkan akan keluar dari mulut-mulut horor dokter dan perawatnya. Lebih baik ia tetap seperti ini. Meskipun alat-alat medis yang terpasang di hampir seluruh tubuhnya tidak saja memasung Peter, namun lebih berat memasungku.
"Kamu yakin Peter baik-baik saja, Kan?" Tangan dan suara itu lembut menyentuh dan berbisik.
Aku menggeleng. "Entahlah, Tante". Ku genggam tangan Peter lebih erat. "Mungkin dia terlalu nyaman bergurau seperti ini, aku rela nunggu dia berhenti bercanda dan bangun lagi,"
"Pulanglah, Biel. Orang tuamu pasti menunggu disana, biar Tante dan kami disini yang jaga Peter. Kamu udah terlalu lama menemani Peter" Rayu Mami Peter lagi.
Tak mampu mengelak. Aku bangkit dari kursi itu lalu mencium kening Peter yang berbalut perban. Setelah pamit, aku berjalan lunglai dari kamar Sirsak, tempat Peter dirawat. Peduli atau tidaknya aku terus berjalan lurus, otakku hanya berputar tentang dia. Sejak mendengar mobilnya bertabrakan dengan truk menuju Surabaya aku memutuskan segala urusanku dengan kampus. Untung saja jaraknya dari Jakarta masih belum terlalu jauh sehingga setengah jam kemudian aku dapat dengan cepat menyusul kesana. Sayangnya yang kujumpai hanya mobilnya yang hancur berat bagian depan sedangkan Peter lebih dulu di larikan ke rumah sakit terdekat.
"Oh Tuhan, mengapa ia harus seceroboh ini?" Batinku kesal. Tanpa sadar aku menabrak seseorang di lorong-lorong rumah sakit itu. Seseorang itu adalah Nazriel. Tidak, mungkin aku bukan menabraknya namun ia sengaja berdiri disana kemudian memelukku erat. Memangku wajahku diatas bahunya agar aku dapat menumpahkan tangisanku meskipun untuk menangis saja aku tak mampu lagi.
"Gue jenguk Peter dulu, Biel." Katanya setelah beberapa saat sambil melepaskan pelukan itu.
Aku mengangguk pelan, sedapat mungkin tersenyum.
***
Jam dinding di ruang kuliah itu berdenting tajam. Berputar dalam mencapai pukul empat tepat. Lima menit lagi. Tapi terasa begitu lama karena tujuan ini hanya satu, menemui Peter yang terbaring koma lima hari di rumah sakit. Kesimpulan sementara kepalanya membentur hebat tiang listrik. Apapun itu, kami hanya berharap laki-laki yang sekarang bercanda itu lekas bangkit kembali, setidaknya membuka bola matanya, menatap satu sama lain yang di depannya.
Lima menit kemudian belajar usai. Kuayunkan kaki ke parkiran walaupun tidak membawa mobil hari ini. Rencana akan dijemput Ayah, ya kalau pekerjaan di kantornya sudah selesai. Ah, sudah seperti masa sekolah saja.
Rasanya duduk di bawah pohon cemara ini lebih menjamin untuk meredakan letihku hari ini. Aku menarik napas lega. Disampingku ada pria yang juga sedang memborong perhatiannya pada laptop hijau miliknya. Mungkin mahasiswa semester akhir, yang pasti waktunya tergubris penuh pada berbagai judul skripsi.
Pikiranku melayang pada pacarku yang terbaring koma. Bukan kali ini saja ia menjadi bulan-bulanan pikiranku. Ya mungkin saja ini puncaknya. Dimana bercanda dan sisi romantis yang tidak bersedia disebut itu telah berhasil menyita waktu dan perhatianku. Dia menang sekarang, dia bebas menjelajah kemanapun yang ia suka saat ini, dan pastinya ia menemukan kebahagiaan meskipun puluhan orang lantas bertanya keadaan yang macam mana yang ia katakan bahagia?. Entahlah, yang ku tau dia adalah laki-laki sanguinis yang selalu bahagia dimanapun ia berada. Tapi, bagaimana jika kebahagiaan yang ia ceritakan setelah bangun nanti bukanlah kebahagiaan yang kami rindukan?
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...