Hari kedua dan seterusnya UN berakhir seperti biasa. Remaja SMA biasanya mengakhiri masa hari terakhir itu dengan konvoi di jalanan. Namun sekolah kami berbeda, penghuninya dilarang oleh kepala sekolah untuk melakukan tradisi buruk, dan benar saja, hampir semua siswa patuh, menyadari betapa berharganya nasehat Pak Hendri karena rata-rata siswa lain yang konvoi, mencoret-coret baju mereka sudah resmi mendekam dalam interogasi polisi.
Sepanjang UN, bukan berarti aku bisa belajar normal seperti hari pertamanya, satu hal menusuk-nusuk kepalaku, sesaat kemudian menjadi penghilang nafsu makan, membanjiri sarung bantal dengan tangisan. Betapa hal itu tidak pernah benar-benar bisa kuterima, mengganjal denagn pertanyaan-pertanyaan rumit yang belum menemukan jawabannya. Benarkah Nazriel yang menulis itu, dan sampai segini sajakah persahabatan aku dan Nina?
Di siang tadi, setelah UN selesai, aku mencoba menemui Nina di ruangannya, menagih setiap pertanyaan menyakitkan yang harus kujawab dengan nalarku. Pesanku di BBM, LINE, WHATSSAP, bahkan teleponku tak pernah dijawab. Berpapasan saja seperti orang asing, tidak ada tegur sapa, apa lagi lempar senyum. Sahabatku itu sudah terlanjur kecewa dan tidak habis pikir. Ya, wajar saja marah. Setiap wanita mengerti bagaimana rasanya berada di posisinya. Mengharapkan laki-laki menyukainya dengan berbagai cara, lantas laki-laki itu menyukai sahabatnya. Nina terlalu cepat mengambil kesimpulan meskipun telah berkali-kali ku jelaskan. Hingga siang tadi, dia masih bungkam, aku dijadikannya seperti udara yang kehadirannya cukup dirasakan, tapi tidak dipedulikan.
"Nin, kita harus temui Nazriel untuk memastikan yang kita lihat itu, loe nggak boleh ambil keputusan gitu aja!" Ucapku ketika beberapa kali ucapan sebelumnya juga tidak digubris. Nina malah mengacuhkannya dengan mengajak teman yang lain berbicara. Kesabaranku sudah di ambang batas. Ku tarik lengannya, berhenti di depan kelas.
"Gue nggak peduli loe mau anggap gue atau enggak, tapi ini semua pasti ada alasannya". Aku menarik tangannya. "Kita temui Nazriel sekarang".
Nina melepaskan tanganku kasar. "Untuk apa? Loe mau pura-pura buta seakan semua yang kita lihat itu tipuan? Cukup, Biel. Gue capek berurusan sama pengkhianat kayak kalian!"
"Pengkhianat? Pengkhianat macam apa maksud loe? Kalo gue dan Nazriel memang saling suka, ngapain kita ngerahasiain ini dari dulu? Nina, jangan egois! Kita harus konfirmasi ini ke dia!" Tegasku.
Nina membuang mukanya dari arahku. Melipat tangannya ke dalam. Sekali lagi, ia kemudian menatapku.
"Biela, lihat gue! loe mau pastiin sepasti-pastinya pun gak ada artinya. Buat apa? Sekarang gue tanya sama loe. Apa Nazriel tau gue suka sama dia? Trus gimana tanggapan dia waktu loe tanya tentang maksud surat cinta busuk itu, apa dengan begitu, dia merasa bersalah dan minta maaf trus jadian sama gue?! Biela loe pikir dong, gimana perasaan gue lihat kalian berdua sering jalan bareng dari perpus waktu itu? Waktu anak-anak pada gosipin kalian berdua pacaran, waktu dia rela nggak ngajar adik kelas karena bela-belain ngajarin loe di perpus?" Perlahan air mata Nina keluar. Tanpa sadar aku mulai berkaca-kaca, aku ingin membantah, namun Nina lebih dulu melanjutkan kata-katanya "Gue yakin loe nggak sebodoh itu untuk nggak peka sama perasaannya Nazriel. Gue nggak tau udah berapa kali kalian berdua-duaan, tiap hari mungkin. Tapi gue benar-benar nggak nyangka, sahabat bisa setega ini mencabik-cabik perasaan sahabatnya. Loe pembunuh, Biel! Loe pembunuh!"
Pasang mata yang tak sengaja lewat melihat momen menyakitkan itu. Nina meninggalkanku dengan banjir air mata. Sudah jelas, ia sangat membenciku, ia mengutukku habis-habisan tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Samar-samar terlihat bagaimana Nina menghabiskan waktunya untuk mengkhawatirkanku di kebun teh dulu, Nina yang marah karena sahabatnya pergi tanpa kabar, Nina yang suka bercerita dan mengoleksi barang-barang kesukaan Nazriel, juga Nina yang pencemburu.
YOU ARE READING
Stuck In Memories
Teen FictionSeketika ingatanku terjebak pada harapan bodohnya. Ketika kami duduk berdampingan pada malam yang kelam benderang : "Nanti kalo udah jadi arsitek beneran, gue bakal rancang rumah mini gue disini. Rumah beratap rumbia yang ada cerobong asapnya. Lant...