PUJANGGA BERNAMA NAZRIEL

18 3 0
                                    

Dear Salsabiela

Dari seseorang yang terpikat oleh teduhnya angin cemara.

Apa aku harus mengartikan seluruh rasa yang membelai segetir rindu ini? Kepadamu wahai angin peneduh segala cuaca. Terus terang. Dirimu berbeda, dan aku terpesona pada setiap keajaiban yang ada di seluruh insan yang satu ini. Berjanjilah, untuk selalu menjadi angin dalam hidupku.

someone

Ku kerjapkan mata berulang kali saat membaca lembar kecil ini yang terselip dalam laci meja kelas. Aku tak tau harus menyebut apa benda ini. Puisi kah? Atau surat cinta?. Otakku berputar mengingat letak pohon cemara terdekat dari kelasku. Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Jika si penulis sangat merindukan angin, mengapa harus mengadu kepadaku? dia kan bisa saja berlari ke pinggir pantai, misalnya untuk beristirahat memandang lautan lepas dengan semilir angin sepoi-sepoi. Ah, ada-ada saja.

Dimana logikanya menempatkanku sebagai angin. Jelas-jelas manusia tidak bisa disamakan dengan benda atau sejenisnya. Sejenak aku ingin membuang jauh-jauh makna realitas "angin" dalam puisi itu. Mungkinkah itu bahasa kiasan? angin berhembus, memberikan ketenangan pada manusia yang sedang kelelahan, keringatan, dan membuat semua kepenatan menjadi lebih baik.

Aku berpikir keras dan kurasakan rintik hujan mulai berisik menghampiri setiap siapapun yang berada di bawahnya. Kira-kira setengah jam lagi bel berbunyi. Hanya lima sampai dua belas anak yang baru masuk kelas sambil berbincang-bincang tentang keadaan mereka saat hujan sementara beberapa yang lain hanya sekedar lewat di depan kelasku dengan berlari-lari kecil atau ada juga yang berjalan santai sambil bersiul-siul. Kecil sekali nada yang dapat kutangkap karena hujan turun semakin deras.

Mataku tertuju pada kertas kecil itu. Ah, puisi menyebalkan ini lagi. Sampai kapanpun orang realistis sepertiku mengerti dengan bahasa mendayu-dayu dan manja ini?. Aku memutuskan memungut kertas kecil itu dan memasukkannya kembali dalam kolong meja kemudian beranjak dari kursi untuk sekedar keluar kelas memandang dunia yang sedikit lebih luas.

Ah, iya. Nina. Manusia kepo itu dari tadi juga belum nampak.

Rencananya aku ingin memperlihatkan Nina tentang puisi menyebalkan itu. Tapi setelah kupikir-pikir, orang sepertiku yang agak pendiam saja sulit menafsirkannya, apalagi yang secerewet Nina.

Setengah jam berlalu. Bel berbunyi samar-samar. Semakin lama kian keras memaksa riuh deras hujan agar mengalah. Tetap saja selisihnya jauh. Hujan kali ini sepertinya ingin menenggelamkan segala jenis suara yang melawannya. Parahnya lagi, Nina juga belum datang. Ku paksakan diri untuk menunggunya dua puluh menit lagi sambil bermain sebentar dengan hujan yang memberikanku kenyamanan untuk berlama-lama disana. Ku tadahkan telapak tangan hingga air yang tertampung mencapai ujung jemariku kemudian mengusapkan bulir-bulirnya ke wajah. Rasanya lebih baik. Asyik sekali. Aku pun melakukannya berulang-ulang sambil tertawa girang bersama lambaian pohon-pohon rindang. Tapi bukan cemara.

Aku tertawa lepas. Dua puluh menit berlalu. Itu berarti Fisika (pelajaran pertamaku) memang tidak ada. Hujan menghalangi rencana Pak Yongki datang untuk menunaikan janji ulangan Fisika seminggu yang lalu. Aku terkekeh. Lebih baik ku lanjutkan saja bermain hujan hingga tanpa sadar, aku pun berputar-putar di tengah lapangan basket saking riangnya.

"BODOH!" Bentak suara itu. Ku palingkan wajah ke asal suara.

Dia. Sejak kapan si manusia superstar itu berada tepat di belakangku? Dan lihat apa yang dia lakukan. Dengan cepat dilemparnya sapu tangan ke arahku. Tepat menempel di wajahku yang basah. Dia menatapku lama kemudian pergi begitu saja membiarkanku melongo tak percaya.

Aku meraba sapu tangan yang sedikit lebih besar dari telapak tanganku itu dan membalikannya. Darurat!

Untuk pertama kalinya sesuatu itu kembali lagi setelah lama tidak menghampiri hidupku. Sesuatu yang membuat napasku terasa berhenti.

Stuck In MemoriesWhere stories live. Discover now