"Aku senang kau mau mampir." Adalah Kim Seokjin yang menyambut Jiyeon yang mendatangi galerynya. Meminta agar Jiyeon bersantai duduk di salah satu sofa dan Seokjin yang berjalan ke kulkas mengambil minuman dingin.
"Tumben sekali tidak bersama Taehyung? Dia pagi tadi mampir ke sini sebentar," tanya Seokjin memberikan sekaleng minuman dingin ke tangan Jiyeon.
Jiyeon menerima dan langsung membukanya, meneguk sebentar dan berdeham guna membersihkan tenggorokannya yang serasa tidak nyaman.
"Taehyung belum cerita?" tanya Jiyeon parau. Kerongkongannya begitu sakit sekarang.
"Cerita apa? Kalian bertengkar?" Seokjin benar-benar tidak mengetahui apapun di sini.
Jiyeon tersenyum tipis dan menggeleng ragu. Bukan pertengkaran lagi, melainkan sudah benar-benar berakhir.
"Aku dan Taehyung sudah memilih jalan masing-masing," lirihnya. Dengan sekuat hati terlihat biasa saja meski menyebut nama Taehyung memberi remasan kuat pada hatinya.
Seokjin total bungkam, dengan bibir sedikit terbuka dan mata yang menatap Jiyeon dengan tidak percaya.
"Tu—tunggu. Kalian putus?" Seokjin masih berharap jika Jiyeon hanya mencandainya.
Anggukan diterima Seokjin dari gadis berparas cantik yang tampak kehilangan gairah hidup tersebut.
"Jiyeon, kalian akan menikah bulan depan bukan? Apa sebaiknya kalian bicarakan masalah kalian masing-masing sebelum memilih keputusan seperti ini?"
"Kak ... bukan aku yang menginginkan hubungan ini berakhir," balas Jiyeon tersendat. "Dan aku tidak mungkin memaksa Taehyung jika memang perasaannya sudah berubah untukku."
Seokjin kembali terdiam, ia pikir Jiyeon lah yang mengakhiri ini semua mengingat Taehyung yang kelewat butuh dengan hadirnya Jiyeon di hidupnya. Seokjin bisa melihat itu dari mata adiknya.
"Boleh aku minta sesuatu? Aku ingin membeli lukisan yang Taehyung buat dulu." Tujuan Jiyeon ke sini hanyalah untuk memiliki lukisan yang Taehyung buat saat pertama kali mengajaknya ke sini. Lukisan abstrak tetapi mampu mengingatkan Jiyeon akan diri Taehyung. Lukisan yang menggambarkan kepribadian Taehyung, hangat dan penuh kasih sayang.
"Aku akan memberikannya padamu, Ji, kau tidak perlu mengeluarkan uang untuk memlikinya."
"Terimakasih, Kak. Tapi aku mohon, rahasiakan pertemuan kita kali ini pada Taehyung. Dan anggap kau belum tahu kalau kami sudah putus," pinta Jiyeon yang diangguki Seokjin dengan berat hati.
Akhirnya Jiyeon mendapatkan lukisan yang baru saja dikemas rapi oleh Seokjin. Jika nantinya ia akan menghapus semua foto Taehyung atau membuangnya. Setidaknya lukisan Taehyung menjadi satu-satunya benda yang bisa mengingatkan Jiyeon bahwa dirinya dulu pernah dicintai dengan sepenuh hati meski hanya dalam sekejap mata.
"Kau tahu? Aku salah satu diantara banyaknya orang yang merasa kecewa dengan berakhirnya hubungan kalian berdua," ujar Seokjin setelah beberapa kali menghela nafas berat.
"Maafkan aku, Kak Seokjin, dan sekali lagi terimakasih membiarkan aku memiliki ini," tutur Jiyeon memaksa seulas senyuman dan menepuk-nepuk pelan lukisan yang tengah ia peluk.
Seokjin hanya mengangguk dan mengusap pucuk kepala Jiyeon. Ia tahu gadis ini tengah tersenyum palsu dan memasang wajah baik-baik saja.
Segera Jiyeon pamit untuk balik ke apartemennya. Seokjin mengantar sampai ke depan dan kembali masuk ke dalam saat Jiyeon berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan galery.
Begitu tangannya sudah meraih pintu mobil untuk membukanya, sebuah suara asing memanggil namanya dengan aksen begitu lembut.
"Jiyeon?"