23: Agreement Between Jungkook And Jimin

1.3K 109 9
                                    

Semenjak kejadin itu, aku tidak membuka pembicaraan dengan siapapun. Bahkan kepada Yoongi sekalian yang notabenya adalah orang yang tidak bisa kudiami terlalu lama. Sekarang aku hanya berdiam diri, melamun, tidak perduli dengan apapun yang terjadi di sekitarku.

Yoongi membuka pintu kamarku dari luar lalu duduk di pinggir tempat tidurku. Dia sangat terkejut begitu melihat kamarku yang sangat gelap tanpa cahaya yang jelas.

"Kau sudah bangun?" tanyanya memastikan. "Sekarang bisakah kau berbicara dengan ku?" tanyanya kubalas gelengan. "Baiklah, tapi setidaknya kau makan terlebih dahulu."

Aku diam sama sekali tidak berniat membuka mulut. Tentu saja Yoongi tidak tahu tentang apa yang terjadi dengan ku. Semalaman tidurku tidak nyenyak membuat ku terbangun dan duduk berdiam diri.

Sampai waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, aku tidak tahu apa yang membuat ku bangun secepat ini. Dan Yoongi, secepat ini juga dia pergi ke kamarku.

"Boleh aku menyalakan lampunya?" tanyanya lagi kubalas gelengan. Yoongi akhirnya mengangguk-angguk kecil lalu pergi meninggalkan ku sendiri.

Ini sudah pagi, mungkin aku bersiap saja untuk pergi ke sekolah. Aku tahu nenek melarang ku untuk pergi ke sekolah hari ini, tapi aku juga tidak ingin tinggal di rumah. Lagi pula biar bagimanapun aku sudah sakit. Aku pergi ke sekolah atau tidak itu tidak akan menjamin bisa merubah keadaanku.

Aku bangkit dari tempat tidur dan langsung menyambar handuk di dalam toilet. Kubersihkan seluruh tubuhku lalu kembali memakai seragam sekolahku. Jam menunjukkan pukul enam. Mungkin jika aku pergi diam-diam akan lebih baik, setidaknya nenek atau sipapun itu tidak akan menahan ku.

Jika aku pergi lewat jendela itu tidak mungkin, aku takut dengan ketinggian. Kuputuskan aku segera keluar dari kamarku sembari membawa tas. Aku tidak melihat nenek ataupun Yoongi. Kulanjutkan langkahku menuruni anak tangga. Aku masih tidak melihat siapapun.

Aku mendengar suara yang begitu berisik dari dapur. Kebiasaan nenek saat pagi tentunya memasak. Aku harus menunggu nenek agar segera pergi dari dapur. Niatku, aku akan pergi lewat pintu belakan agar tidak dilihat orang, dan itu akan berhasil hanya jika nenek sudah pergi dari dapur.

Mau tidak mau aku menunggu. Cukup membosankan, ditambah lagi dengan siklus menstruasiku yang masih berlanjut. Aku harus menahannya agar aku bisa pergi dari rumah tanpa sepengetahuan orang-orang.

Nenek akhirnya pergi. Kugunakan kesempatan itu untuk keluar dari rumah. Aku melihat sebuah pagar beton setinggi dadaku. Tidak ada pilihan lain, jadi aku melompatinya saja. Tentang resiko yang akan kudapatkan jika aku nekat, aku tidak memerdulikan hal itu. Yang terpenting bagiku saat ini aku bisa pergi dari rumah tanpa sepengetahuan orang-orang.

Aku berjalan mengikuti alur pagar belakan rumah setelah aku melompatinya. Aku terbawa ke sebuah gang kecil. Aku lagi-lagi berjalan mengikuti alur gang yang belum kuketahui ke mana arahnya.

Aku melihat jalan yang agaknya kuketahui. Aku berlari mengakhiri perjalananku dari gang itu. Mungkin aku beruntung, tidak jauh dari ujung gang aku melihat sebuah halte bus.

Aku berlari dengan napas yang terengah-engah. Rasanya saat ini dadaku sesat dan sangat susah bernapas. Sementara aku tidak memerdulikannya. Aku terus berlari mengejar bus yang berhenti.

Saat aku sampai, aku berhenti sejenak di pintu bus sembari memegangi dadaku yang terus saja naik turun. Semua orang di atas bus kebingungan melihat ku, dan para penumpang yang menunggu antrian untuk naik, marah-marah kepada ku karena aku yang tak kunjung naik dari bus.

Melihat mereka yang mulai panas, aku segera naik. Semua orang yang ada di belakanku melombai ku mengambil tempat duduk hingga habis. Terpaksa aku berdiri saja. Dengan napas yang semakin tidak beraturan, aku tetap memaksakan diriku walau sudah tidak mampu.

First Feeling (The Little Lady and The Crazy Man) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang