Gema mengintip dari kaca mobil. Menatapi bocah kelas dua SMA yang badannya masih cocok dijuluki anak SMP, tengah berdiri gembira di sebelah sepeda kayuh yang membawa gerobak kecil di belakangnya. Itu Mang Ade, penjual telur gulung simpang pasar langganan milik Egi.
Gema mengukir sebuah senyum miring. Badannya dibawa bergeser pelan sampai dia duduk di kursi bagian milik sang Adik.
Ayo lihat apa yang bakal terjadi?
Tak lama kemudian, pintu mobil terbuka, menampilkan Egi yang kedua tangannya menenteng kantong plastik berisi empat cup telur gulung.
Sebuah perempatan imajiner terbentuk di sana. Dengan satu kali tarikan napas, anak itu malah berteriak kencang tidak tau tempat.
"ANJING, ITUKAN KURSI GUE!"
"HUSH!" Raniya menegur. Agak terkejut mengapa Egi harus marah dan mengumpat hanya perkara kursi.
Sedang Gema hanya diam dan memasang wajah tak peduli. "Gua duluan," katanya cuek.
"JELAS-JELAS GUE YANG DUDUK DI SITU TADI?"
"Kan tadi?"
"TETEP AJA. GESER GAK LO?"
"Kalau gua gamau gimana?"
Sebuah pukulan hampir saja mendarat pada bahu Gema kalau bukan sang Ibunda yang kembali menegur mereka.
"Adek, duduk di tempat kosong. Kenapa kursi aja dipermasalahin?"
"Tapi, Ibun kan tau itu kursi adek dari dulu?"
Raniya memijit kepalanya lelah.
"Abang, ngalah. Ayo geser, kamu tadi kan duduk di belakang Bunda?"Gema berdecak malas. Permasalahan yang sama sekali tidak penting, pikirnya. Tapi cowok itu tak pelak mengalah dan kembali pada posisi duduk awalnya.
Perjalanan ditemani hening sebab Egi dan Gema lagi-lagi tidak akur. Meski Raniya sudah berusaha mencari topik, tapi tidak ada satupun dari putranya yang mau menjawab dengan excited.
"Bunda jarang sekali, lho, Nak, ketemu kalian." Wanita itu melirik dua anaknya dari kaca. Semua tengah diam.
"Masa sekali ketemu Bunda buat main sebentar, kalian berantem?" lanjut sang Ibu.
"Dia duluan." Itu suara Egi.
"Lo lah." Gema menyahut tidak terima.
"Abang yang rebut kursi adek?!" Egi menyentak kesal. Tidak lagi menggunakan Lo-Gue adalah pertanda dia sudah kesal. Terbukti dengan genangan pada dua pelupuk matanya yang senang sekali menangis itu.
"Dengerin gua, ya." Gema berkata sinis, melirik kesal adik satu-satunya itu sebelum berbicara dengan nada penuh penekanan.
"Lo itu cuma bocah kekanakan yang maunya menang sendiri. Lo kira orang demen sama sikap lo yang begitu? Egois. Selalu aja egois. Najis gua liatnya."
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest