16. Fakta

1.4K 279 5
                                    

Jika Egi dan Gema adalah segenang air, maka Bunda adalah setetes tinta yang tak sengaja menitik.

Raniya sadar tinta miliknya bisa memudar, tapi tentu saja akan tetap mengotori dan meninggalkan bekas.

Wanita itu tertunduk lesu. Lagi-lagi menyesali perbuatannya selama ini, meski ia tahu itu adalah sia-sia.

Mata yang sekitarnya sudah mengantung hitam itu menatap wajah damai Egi yang kembali terlelap. Mereka hanya berdua. Gema membawa Janedi pulang sebentar katanya.

Raniya sadar, hidupnya hanyalah perihal mengacaukan. Wanita itu tahu jika yang dia lakukan hanyalah mencari pembenaran kotor. Raniya pengecut. Terlampau pengecut hingga hal sekeji apapun dia lakukan hanya agar dirinya bisa tetap tinggal pada zona nyamannya.

Wanita itu membuka telepon genggam miliknya yang belum dia hidupkan sejak berjam-jam lalu. Mba Jana —sus yang bekerja di rumahnya sejak pekan lalu, mungkin saja sempat meninggalkan pesan di hp nya. Dan sesuai dugaan, Raniya menghela napas saat dia menemukan pesan yang berisi foto Hanny yang sedang menangis kencang.

"Bu, Hanny nangis terus daritadi." begitu kira-kira pesan di bawahnya.

Raniya kembali menghela napas besar. Bukankah dia gagal lagi menjadi seorang ibu jika begini?

Lagi-lagi jemari lentik itu menggeser layar ponselnya. Mencari nomor telepon Gema. Rencananya Raniya ingin meminta Gema datang lagi agar dia bisa segera pulang menemui Hanny.

Telepon itu berdering tanda sedang disambungkan. Tapi tak kunjung diangkat seberapa banyakpun wanita itu mengulang.
Hingga di percobaan ke tujuh, sambungan itu diangkat. Tapi tidak ada suara Gema di sana. Yang dia dengar hanyalah suara terputus-putus di tengah keramaian. Seperti orang berlari.

"—UGD!"

Itu Janedi.

***

Gema berhasil pulang setelah meyakinkan Janedi untuk memberikan Raniya waktu berdua dengan Egi. Pemuda itu sadar jika Bapak pasti emosi sekali, karena itu dia mencoba meredam ledakan Bapak dengan membawa pria itu pulang ke rumah terlebih dahulu.

Janedi hanya diam saat sampai di rumah. Laki-laki dua anak itu memilih untuk mandi saat sadar badannya setengah basah karena di jalan tadi kehujanan.

Sedang Gema, dia memilih untuk masuk kamar Egi dan memilah pakaian ganti yang bisa adiknya pakai untuk dibawa nanti.

Di tengah menggeledah lemari, Gema menemukan sekotak buku diary. Sedikit tidak menyangka bahwa Egi punya benda seperti ini; yang notabene sangat kolot menurutnya. Bukankah di usia Egi, di jaman sekarang, mereka tidak lagi membutuhkan buku diary semacam ini?

Awalnya hendak mengabaikan, tapi Gema tetaplah Gema. Dia penasaran.

Buku itu diawali perkenalan simple di halaman pertama. Dengan gambar tiga orang laki-laki tidak beraturan —khas gambaran Egi. Di atasnya dituliskan 'Bapak', 'Bang Gema', dan 'Egi' di sana.

Halaman kedua, ketiga, dan keempat berisi cerita tidak jelas, seperti sekesal apa anak itu saat Jaya tidak mau memberinya tumpangan pulang saat Gema tidak mau menjemput. Atau curhatan ketika tukang telur gulung kesukaannya pulang kampung dan libur jualan seminggu.

Ah, telur gulung. Gema rasanya mau berjanji akan membawa dan meneraktir Egi makan telur gulung simpang tiga saat anak itu sembuh nanti.

Halaman selanjutnya hanya dilewati. Terlalu banyak untuk dibaca dan terlalu berantakan untuk dimengerti. Gema jadi heran, tulisan adiknya jika disanding tulisan anak SD pun pasti menang,

—soal paling jelek.

Sampai di pertengahan halaman, bentuk kertasnya mulai berbeda. Isinya tidak hanya tulisan curhatan tak beraturan, melainkan juga beberapa gambar yang Gema tangkap kurang baik.

Rupanya Egi menyimpan banyak sedih di sini.

Rasa penasaran cowok itu semakin meningkat untuk memeriksa halaman selanjutnya. Biarlah dia meminta maaf suatu hari karena sudah lancang.

Perhatian Gema tertuju pada satu halaman menuju akhir buku. Banyak sekali hal yang Egi tumpahkan di sini. Yang tak pernah Gema sadari, yang tak pernah Gema tahu.

Yang tidak pernah Gema bayangkan.

Salah satunya;

Egi yang selalu bersikeras duduk di sebelah kiri.

Cowok itu berdiri dan membiarkan buku itu terjatuh begitu saja. Jantungnya berdetak kencang, berdentum keras seolah menyorakkan perasaan bersalah.

Dengan tergesa keluar kamar, Gema memilih untuk menghidupkan motor merahnya. Mengabaikan hujan yang semakin lebat dengan petir yang bersahut-sahutan. Mengabaikan Bapak yang berteriak mencegah.

Motor itu digas kencang melewati jalan kampung yang total becek sebab hujan. Keluar membelah jalan raya yang masih padat akan kendaraan.

Perasaan bersalah dan menyesal itu meronta tiap detiknya. Bayangan dia yang selalu kasar kepada Egi berputar-putar. Terlebih fakta mengapa anak itu selalu memilih duduk di bagian kiri sukses memukul tepat di ulu hatinya.

Suara klakson memperingati Gema berkali-kali, tapi anak itu mana peduli. Dia hanya ingin cepat sampai rumah sakit dan bertemu adiknya.

Egi bilang, dia suka duduk di kursi sebelah kiri.

Egi bilang, berdasarkan survey dan penelitian, kursi paling aman dalam mobil itu di belakang supir.

Setetes air mata mulai mengalir disusul tetes lainnya. Berbaur bersama hujan yang membuat tubuh muda itu kuyup.

Suara klakson kembali berbunyi. Dan saat Gema melirik ke arah kiri, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Anak itu tidak sempat mengelak. Menyebabkan kendaraan beroda empat itu menyambar tubuhnya dengan cepat.

Tak ada yang bisa Gema rasakan lagi selain perasaan bersalah yang belum menemukan penawar —setelahnya.

Cowok itu menangis dengan napas naik turun tak beraturan. Badannya sungguh mati rasa.

Egi memberikan semua yang terbaik untuk Gema. Bahkan kursi paling aman. Sebab itu adiknya selalu marah jika Gema duduk di bagian kiri?

Egi sudah mempertimbangkan segalanya.

Tapi tetap saja,

Semua hancur.

Gema hancur.

[][][]

Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang