Agaknya, kejadian tempo hari membuat Egi sedikit trauma bermain ke rumah Bunda. Tatapan Om Hendry menakutkan sekali; terlihat datar tapi sarat akan kebencian. Walau sebenarnya tidak begitu paham dengan yang dilakukannya, tetap saja anak enam belas tahun itu merasa terancam.
Gema menaikkan kacamatanya yang merosot sebab tangkainya sudah timpang sebelah. Tentu saja itu karena sang Abang jarang menggunakan benda berframe itu dan meletakkannya sembarangan, hingga kacamata malang miliknya kadang dengan tidak sengaja terimpit barang lain atau terduduki orang.
Tangan dengan warna antara punggung dan pergelangan yang belang itu mulai memetik senar gitar. Di temani Egi yang terkapar malas di atas tikar kamar.
"Bunda itu sadar, gak, sih?"
Alis Gema terangkat naik. "Sadar paan?"
"Kalau suaminya tuh gasuka sama kita?"
Yang paling tua berhenti memetik gitarnya. Cowok itu menatap sang adik kemudian mengangguk setuju. "Pasti sadar sih."
Memilih untuk turun dan duduk di sebelah Egi, Gema kemudian bersuara lagi. "Tapi, ngingat Bunda yang keras kepala, dia pasti bebal banget dibilangin."
Mendengarnya, Egi tergelak. "Kayak lo dong?"
"Enak aja gua, lo lah!"
***
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Gema yakin sekali kalau Bunda tadi kepanasan telinganya.
Terbukti, wanita itu kini berdiri di depan pintu rumah mereka dengan senyum setengah kaku, sambil berkata, "Bunda tiba-tiba kepikiran Adek dan Abang. Pergi main, yuk?"
Egi yang saat itu kebetulan membuka pintu tentu saja tidak menolak. Mengingat Bapak sedang pergi kerja dan Bang Gema yang libur kuliah, mungkin mengiyakan Bunda tidaklah buruk.
Gema mengiyakan tanpa banyak penolakan saat sang adik memanggilnya dari ruang tamu. Cowok itu tidaklah terkejut, sebab Raniya sudah mengirimkan pesan sejak sepuluh menit lalu.
Egi dengan sigap menempatkan diri pada posisinya; di sebelah kiri. Selalu saja jadi orang pertama yang duduk —disusul Gema dan Bunda setelahnya.
Si sulung berdecak mengejek. Masih penasaran dengan alasan Egi yang tak ditemukan jua sebabnya.
Jalanan kota saat itu sedikit macet. Tapi tidak apa sebab Bunda banyak mengajak bicara. Musik yang dihidupkan juga tak kalah banyak membantu mencairkan suasana. Sampai saat dua pemuda itu sadar saat sedan putih yang mereka tumpaki berbelok dan mengambil jalan ke arah sebuah tol.
"Kita mau kemana, Bun?"
Itu Egi yang bertanya. Sedang Raniya hanya terkekeh pelan. "Tebak ke mana?"
"Bun, Bun, jangan aneh-aneh, Bun."
Gema bergerak panik. Dia takut dibawa pergi jauh tanpa persiapan, tanpa minta izin ke Bapak, meninggalkan pria tua itu sendirian di rumah.
"Abang sama Adek pasti lupa, ya?"
Keduanya berpandangan heran. "Lupa apa, Bun?"
"Ini hari apa?"
Egi nengetuk-ngetuk dagunya. Mencoba mengingat perayaan hari ini, sebab dia tahu Bunda pasti bukan sekedar menanyakan nama hari.
Namun, belum sempat menjawab, wanita itu sudah mengingatkan dengan nada yang sedikit kecewa. "Hari ini ulang tahun Bunda, lho."
"OH!" Egi berseru. Benar juga. Egi lupa.
Tak beda dengan Gema —dia juga baru sadar. Kalau dipikir-pikir, Gema bahkan tidak melewati ulang tahun dirinya ataupun Bunda bersama-sama selama kurang lebih lima tahun ini.
"Abang sama adek kesal gak, kalau Bunda ajak jalan buat ngerayain hari ini?"
"ENGGA DONG," sela Egi cepat. Anak itu sempat bangun dari duduknya saat yang didapatinya adalah wajah bersalah dari raut Raniya.
Mobil sudah melaju memasuki tol, berpacu bersama kendaraan lainnya. "Jadi kita kemana, Bun?"
"Ke Jogja, mau?"
"Kita pulang hari ini juga, gak bakal nginap. Jadi jangan khawatir tentang Bapak, ya." Raniya segera menyahut saat sadar jika kedua putranya pasti mencemaskan Janedi yang tinggal sendirian di rumah.
"Ooh, oke. Adek maunya pulang hari ini, ya, Bun." yang direspon anggukan dari sang ibu.
Raniya melirik jam tangannya. Matahari sudah jauh di atas dan mungkin akan segera kembali turun. Dia takut kalau mereka pulang terlalu malam. Jadilah satu-satunya cara yang dipilih adalah menaikkan laju kendaraan.
Egi membuka sedikit kaca jendela bagiannya. Menghirup banyak udara saat Bunda melaju kencang. Mobil dengan plat AD itu mulai mengambil jalur kanan, menyalip beberapa kendaraan di sekitarnya.
Namun, saat sedang ingin menyalip sebuah truk, kendaraan besar itu malah melambat secara tiba-tiba, membuat Raniya dengan panik ikut me-rem mobilnya.
"Bun, awas Bun!" Itu suara Gema saat sadar dengan posisi mereka.
Niat hati ingin menghindari truk di depannya, namun takdir berkata lain. Sebuah truk lain yang melaju dari belakang tak sempat memijak rem. Wanita itu langsung membanting stir ke arah kiri —berusaha menghindari. Betakhir dengan berhenti saat menabrak pembatas jalan pada bagian kiri.
Ironi. Sebuah kecelakaan rupanya tak bisa Raniya hindari.
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest