Raniya pulang sore itu. Awalnya dia menolak dengan keras, ingin menunggu Egi katanya. Tapi keadaan di mana dia punya Hendry dan Hanny yang membutuhkannya di rumah, jadilah wanita itu terpaksa pulang. Memilih akan menjenguk putra bungsunya setiap sore sembari menunggu kabar dari Gema. Lagipula, Janedi malam itu langsung datang dan dia tidak mau saling bertemu pandang, sejujurnya.
Keadaan wanita itu mulai membaik. Raniya sudah bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Doa-doa panjang tak pernah ia tinggalkan dalam setiap kegiatan, berharap kabar Egi yang tak kunjung siuman mendapat pembaruan.
"Bunda gapapa Ayah tinggal kerja?" Hendry bertanya lembut. Khawatir atas keadaan sang istri walau dia sudah mengambil cuti tiga hari ini.
Raniya mengangguk. "Gapapa." Wajah ayu itu melirik ke arah putrinya yang masih terlelap. Badannya masih sakit sebab banyak terbentur, tapi Raniya sadar semua harus kembali normal seperti biasanya. Hendry yang pergi bekerja dan dia akan mengurus rumah seisinya.
Pria itu menghela napas dan ikut mengangguk.
"Hm, yaudah. Ayah berangkat," katanya sesaat sebelum mengecup kening sang istri dan berlalu pergi.Semua berjalan normal setelahnya. Sampai di pukul dua siang, Raniya mendapati handphonenya bergetar dua kali. Itu pesan dari Gema yang berhasil membuat jantungnya berdetak berlipat kali lebih kencang.
"Bun, Egi siuman."
***
Mengabaikan tatapan orang-orang, Raniya dengan segera berlari di tengah koridor rumah sakit. Perasaan cemas dan bahagia saat itu tengah membuncah; membayangkan akan bertemu dengan Egi yang sudah sadar dari koma.
Langkah-langkah itu berhenti pada satu ruangan. Mendorong pintu berkusen cream itu sebelum dirinya disambut oleh Gema dan Janedi yang lebih dulu di sana.
"Egi? Nak!" Raniya dengan segera masuk. Berusaha mengesampingkan perasaan malu dan takut saat dia berada di satu ruangan yang sama dengan mantan suaminya.
"Jam berapa Egi bangun?" Wanita itu menoleh pada Gema. Bertanya.
"Jam setengah dua."
Hening. Itu Janedi yang menjawab. Sedang Raniya hanya mengangguk kaku. Wajahnya beralih pada si bungsu. Bibirnya yang sudah kering itu dia gigit keras.
"Adek, Adek maafin Bunda, ya?" Tangan Raniya menggosok pelan lengan si paling muda. Liquid mulai menggenang, tak mampu ditahan. Raniya terlampau merasa bersalah.
Mungkin sebab masih lemas, tidak ada respon yang bisa Egi beri selain kurva kecil. Sebuah senyum yang seolah tengah menjelaskan kalau dia tak apa, dan Bunda tidak perlu khawatir tentang itu.
"Maafin Bunda, Nak...." Raniya menangis.
"Harusnya Bunda engga ngajak kalian buat ngerayain ulang tahun Ibun."Bahunya digosok pelan. Itu tangan Gema.
"Gapapa, Bun. Musibah engga ada yang tau," kata cowok itu menenangkan.Sedang Janedi di sebelahnya hanya membuang muka. Pria itu sejujurnya sangat marah.
Tangan Egi bergerak pelan, menggenggam lemah jemari sang Ibu. Anak itu menggeleng pelan.
"Iya, Adek anak kuat. Sehat ya, Nak. Bunda minta maaf." Raniya dengan segera mengelap air matanya dan membentuk seulas senyum."Egi habis ini sembuh, Bun." Gema mengangguk. Secara tidak langsung berusaha memberi semangat kepada keduanya.
Raniya bersyukur. Sangat bersyukur saat faktanya dia masih bisa bertemu kedua putranya. Banyak doa yang tengah wanita itu panjatkan kini.
Keadaan hening sesaat, hingga hanya bunyi deru napas dan alat-alat rumah sakit yang hanya mampu didengar mereka.
"Sudah puas?" Keduanya menoleh. Mendapati Janedi yang terduduk di atas sofa sembari memandang dengan tatapan kosong.
Bohong kalau pria itu bilang tidak apa. Munafik dia kalau harus bersabar saja.
"Puas kamu bikin celaka Anak saya, Raniya?"
"Pak—"
"Apa yang kamu cari?" Tubuh Janedi berdiri. Menatap tajam wanita yang kini berstatus sebagai mantan istrinya. "Hadiah ulang tahun?"
"Bapak, udah," Gema mendekat. Berusaha menjadi penengah saat dia sadar Bapak mungkin akan sangat marah setelah ini.
"HADIAH ULANG TAHUN KAN? ANAK SAYA CELAKA SEMUA. DAN INI HADIAHMU!"
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest