Janedi sudah mengalami banyak sekali cobaan dalam hidupnya. Kehilangan kedua orang tuanya, bangkrut dan jatuh miskin, sampai istri tercintanya mengaku sudah berselingkuh dengan pria lain.
Janedi tentu sadar, semua itu mungkin Raniya lakukan karena stress kehabisan uang, kemudian di saat yang bersamaan, seorang pria yang lebih terjamin finansialnya datang menawarkan bantuan. Yang sama sekali tidak pernah Janedi kira ialah, putra bungsunya adalah hasil dari perselingkuhan yang tidak sah itu.
Tentu saja dunia Janedi hancur. Ditambah kenyataan bahwa dia mengetahui fakta itu di saat Egi sudah mulai tumbuh besar. Raniya mengakui semuanya setelah dia mengaku berselingkuh dengan pria lain —lagi.
Butuh waktu lebih dari satu tahun bagi Janedi untuk sembuh dan bangkit. Terlebih pada keadaan bahwa dialah yang memegang hak asuh si bungsu. Pria itu mati-matian berusaha kembali menyayangi Egi selayaknya Ayah kandung yang baik. Mengenyampingkan kenyataan pahit yang saat itu hanya dia dan Raniya yang tahu.
Di sisi lain, tidak ada satupun yang sadar kalau tahun itu menjadi puncak penyiksaan bagi Gema. Sebab saat itu, satu-satunya yang dipaksa mengurus Egi adalah Gema. Benar-benar hanya Gema sendiri di antara kedua orang tuanya yang terlampau lepas tangan.
Janedi hanya tidak tahu bahwa si sulung juga tahu. Janedi tidak sadar Gema menumpuk banyak dendam karena itu.
***
Setelah mendengarkan panjang lebar penjelasan Bunda, Egi mulai mengerti. Tapi tak mau munafik hatinya tetap sakit sekali.
Sebuah ironi kehidupan ketika bocah itu sadar jika dia lahir bukan dari pernikahan sah, hasil selingkuhan, tinggal bersama Bapak yang secara biologis bukanlah ayah kandungnya, dan ditinggalkan Bunda —selaku pelaku —yang menikah dan hidup bersama pria lain yang notabene selingkuhannya, lagi.
"Bunda gak minta Adek maafin Bunda sekarang, Nak." Raniya mengelus jari-jari kurus itu pelan.
"Selayaknya Bunda yang perlu banyak waktu buat menyesal dan perbaikin semuanya, Bunda tau Adek juga butuh waktu buat maafin kesalahan Bunda.""Bunda jahat." Hanya kalimat itu yang Egi ucapkan berkali-kali. Raniya mengangguk, "Iya, jahat sekali, ya?"
Semua hening. Makanan yang tak habis dimakan itu sudah dingin di atas meja. Disapu angin-angin malam yang mengintip lewat jendela. Keduanya sudah hilang nafsu makan sejak bermenit-menit lalu.
"Egi gaboleh ikut Bunda?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Tentu saja Raniya bimbang sepenuhnya. Hendry, sang suami sejak awal tidak mengizinkan anak-anaknya masuk dalam kehidupan rumah tangga mereka.
"Bunda gabisa jawab, Nak."
Egi mengangguk paham. "Bercanda. Egi tau Bunda gamau."
"Bukan ga—"
"Adek mau pulang, Bun."
Keduanya diam. Raniya berdiri saat anak itu berdiri. "Dek, Bunda bukannya gamau, tapi—"
"Adek ngantuk, Bun. Mau pulang—" Anak itu diam sejenak.
"Pulang ke rumah Egi, pulang ke Bapak," katanya pelan.
Ada sela keheningan di sana.
Raniya mengangguk. Dengan segera membawa anak itu keluar dan melakukan pembayaran secepat mungkin. Egi sudah menunggu di atas mobil saat itu. Tapi tidak seperti tadi, Egi tidak lagi duduk di samping Raniya. Anak itu memilih duduk di kursi tengah sebelah kiri, seperti biasanya.
Perjalanan pulang terasa cepat dari pada saat berangkat. Kali ini Raniya tidak masuk dan memarkirkan mobilnya ke dalam halaman rumah. Wanita itu lebih memilih berhenti di pinggir jalan dan membiarkan Egi turun di sana.
Bukan apa-apa, Raniya hanya takut bertemu Janedi dan Gema.
Pintu mobil terbuka. Egi dengan segera keluar saat suara sang Bunda memanggilnya pelan.
"Dek!"
Anak itu diam. Menunggu apa yang akan dikatakan Raniya selanjutnya.
"Maafin Bunda, Nak. Yang perlu Egi tau, Egi tetap anak Bapak dan Bunda."
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest