6. Karena Mereka Bukan Gema (2)

1.9K 341 10
                                    

Menurut Gema, Bapak adalah manusia paling luas sabarnya di muka bumi ini. Sekalipun pemuda itu tidak pernah melihat Bapak yang benar-benar marah. Apapun keadaannya, pria tua itu akan selalu mengehela napas dengan tatapan yang selalu tidak bisa didefenisikan. Tangannya akan dengan telaten mengelus dadanya sendiri sebelum sedetik kemudian sebuah kurva kecil akan terbentuk dari sudut bibirnya. Walau banyak sekali hal yang mengecewakan Bapak, walau dia harus hidup dengan cara yang kurang beruntung,

—walau kadang di malam panjang Bapak harus menangis diam-diam di sudut kamar lalu berdalih tengah kelilipan jika ketahuan.

Seperti malam ini, Bapak kembali diam. Gema tahu alasannya adalah karena mereka berdua tadi pagi bertemu Bunda tanpa mengabari Bapak. Pria bernama Janedi itu tahu saat pulang ke rumah, dia melihat mobil mantan istrinya yang lewat meninggalkan pekarangan rumah.

Gema tahu Bapak tidak suka anak-anaknya dekat dengan sang Bunda; Raniya.

"Maaf, Pak." Itu suara Egi. Sedikit tidak menyangka bocah itu rupanya sadar juga.

Sedang yang paling tua dalam rumah itu hanya berdehem kecil. Rumah hening beriringan dengan suara denting gelas yang di taruh di atas meja. Mereka malam ini lagi-lagi makan dalam keheningan.

"Pak—"

"Cuci piring masing-masing kalau sudah selesai makan, ya." Laki-laki itu bangkit berdiri, meninggalkan kedua putranya di meja makan dan memilih untuk masuk ke dalam kamarnya.

Bapak sedang marah.

***

Pagi harinya. Mood Bapak terlihat lebih membaik. Pada dasarnya Bapak memang tidak bisa marah berlama-lama.

Gema menikmati sarapan nasi goreng dari nasi kering sisa semalam dengan khidmat. Diam-diam matanya memperhatikan si bungsu yang mondar-mandir lebih dari sepuluh kali dalam sehari ini.

Jika diperhatikan, Gema baru sadar jika tubuh adiknya tidak lagi sekecil dan sekurus dulu. Bahunya mulai melebar selayaknya remaja laki-laki pada umumnya. Tidak ada lagi gigi-gigi patah atau ompong yang menyambut saat anak itu tersenyum.

Ah, waktu ternyata sudah berlalu secepat itu, ya?

Setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan, Egi memilih untuk mengucapkan salam dan meninggalkan rumah pagi itu. Sebab sebenarnya, terhitung lima menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Bisa-bisa dia nanti akan terlambat, dan Egi tidak mau itu terjadi.

Rumah kembali hening sampai Bapak membuka suaranya.

"Diajak kemana aja kalian kemarin?"

Gema berhenti mengunyah. Matanya menerawang takut-takut. "Cari makan."

"Egi juga sempat diajak Bunda ke mall buat beli sepatu," lanjutnya.

Janedi mengernyit. "Berarti kamu juga?"

"....Iya."

Tolong jangan salahkan Gema. Cowok itu sama sekali tidak berniat membeli apalagi meminta untuk dibelikan. Salahkan saja sang Bunda yang tiba-tiba membeli dua sepatu model sama dengan ukuran yang berbeda. Jadilah dia dan Egi kini punya sepasang sepatu kembar.

"Kamu paling tahu Bapak, Bang." Janedi meneguk air putih miliknya. Matanya menatap meja makan kosong. "Kamu tau Bapak masih ga suka kalian per—"

"Aku juga gasuka, Pak!" Gema menyela panik. Berusaha meyakinkan Bapak kalau dialah yang akan tetap berada di sisi pria itu dan mendukungnya. "Si Egi aja yang mauan," lanjutnya.

Lagi-lagi Janedi menghela napas berat.

"Tapi,"

Yang paling tua melirik si sulung. Menanti apa yang akan dikatakan Gema selanjutnya.

"Kenapa Bapak ga sesuka itu kami pergi sama Bunda?"

Sial. Pemuda bernama Denandra Gemima itu merutuki mulutnya yang bertanya. Tentu saja semua sudah jelas. Bukankah pertanyaan yang dia lontarkan hanya akan membuat Bapak semakin sakit saja saat mengingatnya?

"Kamu serius masih perlu tanya, Bang?" Janedi bertanya rendah. "Bapak kira kita udah pernah bahas ini dua tahun lalu."

Gema meneguk ludahnya kaku. Dia sejujurnya sangat menyesal bertanya dan memilih untuk tidak meanjutkan lagi topik semacam ini. Tapi apa yang dilontarkan Bapak selanjutnya mampu membuat sesuatu dalam dirinya sedikit tersulut.

"Kalian itu dasarnya memang cuma bocah yang ga paham apa-apa. Kenapa kamu masih perlu nanya buat sesuatu yang udah kamu tahu? Abang ini memang dari awal ga ngerti apapun, kan?"

"SIAPA BILANG?" Cowok itu berdiri. Agak terluka sedikit kala sang ayah masih menganggapnya anak kecil yang tidak paham apa-apa.

"Gema paham kok. Banyak yang Gema paham lebih dari yang Bapak tau! Ngeliat orang tua yang pisah, jaga anak dongo itu bertahun-tahun, dipaksa jadi Abang dan ngalah dari umurku yang bahkan belum bisa mandi sendiri!"

"Oh, jadi maksudmu kamu ga ikhlas, Bang?"

Rasanya seperti tersulut makin-makin. Wajah pemuda berusia dua puluh satu tahun itu merah padam. Kenapa jadi seperti ini? Kenapa Bapak malah jadi meremehkan dan menuduhnya?

"IYA! iya aku ga ikhlas, puas Bapak??"

Janedi berdiri. Baru kali ini dia marah dan ingin berteriak rasanya. Pria itu menatap putranya dengan pandangan campur aduk.

"GIMANAPUN DIA TETAP ADEK KAMU. KALIAN LAHIR DARI RAHIM YANG SAMA! BAPAK NGURUS KALIAN BERTAHUN-TAHUN BAHKAN GAPERNAH MENGELUH WALAU DIA BUKAN DARAH DAGING BAPAK SENDIRI. SUDAH CUKUP BAPAK PERNAH SAKIT KARENA PERNAH CINTA SAMA BUNDA KALIAN YANG GATAU DIRI ITU!"

Semua diam. Hanya deru napas Janedi yang tak beraturan yang terdengar di sana. Sedetik kemudian, sebuah suara tangis menyusul.

Egi Junandra berdiri di depan pintu rumah.

[][][]

Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang