Sesuai dugaan, Egi terlambat di senin pagi ini. Gerbang sudah dikunci rapat. Tidak peduli seberapa banyak anak itu memohon, satpam sekolah tidak mengizinkannya untuk masuk. Sudah aturan dari sekolah, katanya.
Anak itu terduduk lesu di bawah pohon ketapang. Sudah hampir dua puluh menit berlalu dan dia tetap tidak diizinkan masuk. Menyerah, Egi akhirnya memutuskan membalikkan langkah dan pulang ke rumah.
Dari jauh, keadaan rumah terlihat tenang seperti pagi-pagi biasanya. Dengan sedikit gugup sebab takut dimarahi, anak itu tetap merajut langkah pulang ke rumah. Pintu yang dia tinggalkan terbuka setengah jam lalu masih pada kondisi yang sama. Namun anehnya, semakin dekat posisi Egi dengan pintu rumah, semakin terdengar samar-samar suara Bapak dan Bang Gema.
Egi memilih untuk melepaskan sepatu di luar dan menunggu sejenak. Perasaannya sesikit tidak enak saat yang mampu dia dengarkan hanyalah oktaf-oktaf tinggi dari Bapak dan Bang Gema.
Mereka bertengkar, ya?
Telinganya dipasang baik-baik. Egi hanya ingin tahu apa yang diributkan ayah dan saudaranya itu. Namun, bak dihantam meriam tepat pada ulu hatinya, cowok itu dengan segera berdiri di depan pintu masuk. Meyakinkan diri atas apa yang didengarnya itu bukanlah sesuatu yang salah.
Satu persatu liquid merembes dari kedua matanya. Egi hanya ... tak menyangka?
"Dek?"
Adalah Gema yang pertama sadar atas kehadiran bocah itu. Sedang yang dipanggil namanya dengan segera menghapus air mata itu dengan cepat. Egi tersenyum lembut sembari berkata,
"Egi gak dengar, kok. Oh iya, maaf ya, Pak. Aku ga dikasih masuk ke sekolah soalnya sudah terlambat," katanya tanpa berani menatap sepasang mata di hadapannya.
Egi menunduk dan masuk. Badannya sedikit linglung seperti dibangunkan dari tidur dengan paksa.
Menyeret tas sandang miliknya sebab sudah kehilangan tenaga, Egi masuk kamar dan mengunci pintunya dengan rapat.
Sedetik kemudian, sebuah tangisan teredam bantal menguar dari sudut-sudut ruangan itu.
***
Hari sudah berganti dan Egi tak kunjung menampakkan diri. Bocah enam belas tahun itu memilih mengurung diri di dalam kamar kendati sang kakak dan ayahnya sudah berkali-kali menyuruhnya keluar.Janedi merasa bersalah. Tentu saja.
Ada banyak penyesalan yang dia rasakan setelah tidak sengaja kelepasan berbicara. Seharusnya pria itu mampu mengontrol emosi seperti biasanya, seharusnya Janedi bisa menahan diri lebih lama lagi.Tidak berbeda dengan Bapak, Gema juga tidak mampu berbohong jika dia tidak merasa menyesal pula. Bagaimanapun, dia yang memancing semuanya.
Keadaan menjadi runyam.
Ntah apa yang dilakukan Egi selama lebih dari dua puluh empat jam di dalam kamar sana. Satu-satunya yang membuat Gema yakin kalau sang adik masih hidup ialah satu dua pesan yang masih Egi balas lewat ponselnya.
Gema sebenarnya mau mendobrak pintu sialan itu —lagi. Tapi, bukankan itu akan membuat Egi semakin marah?
"Gi." Cowok itu berusaha memanggil lagi. Tentu saja tidak akan ada jawaban dari sana —seperti sesudahnya.
Sedang yang di dalam sana tetap saja bungkam. Egi menatap nanar lantai keramik murahan yang sudah retak di sana sini. Matanya sudah total memerah dan bengkak. Egi tidak berhenti menangis semalaman.
Jadi, Egi bukan anak Bapak, ya?
Cowok itu bersandar lesu pada dinding tepat di sebelah dipan kayu miliknya.
Walau tidak paham seluruhnya, ia sedih, tentu saja. Tapi Egi ingin tahu lebih banyak lagi. Pikirannya kacau, ditambah perutnya yang meraung lapar. Kepala bocah itu hampir pecah rasanya.
Haruskah dia bertanya pada Bunda?
Tangan itu bergetar meraih gawai miliknya yang sudah tergeletak di lantai.
Egi membuka daftar kontak dan mendial nomor yang dia beri nama 'Bun Bunda'.
Dering yang menandakan telepon tengah disambung berbunyi tiga kali sebelum suara lembut menyapa dari seberang sana.
"Bun, Bunda jemput Adek...."
Egi menangis lagi.
Namun kali ini lebih keras.
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest