4. Khawatir?

2.2K 365 2
                                    

"Gi."

Kepalanya menoleh, mendapati presensi sang Abang tengah berdiri di depan pintu.

"Gua mau keluar. Ntar malam bukain pintu, ya." Gema berkata tanpa menatap Egi, tapi yang diajak bicara mana ambil pusing. Egi mengangguk mantap. "Oke," sahutnya.

Belum sampai langkah Gema ke pintu rumah, tiba-tiba lantai yang mereka pijak bergetar. Denting-denting piring dan gelas dari dapur berbunyi nyaring.

Gema sedang diam memastikan sebelum dia mendengarkan suara bapak yang berteriak masuk ke dalam rumah untuk memanggil mereka berdua.

"BANG, DEK, GEMPA!"

Egi terpekur sebelum sebuah tangan menyambar lengannya dan memaksa dia untuk berlari keluar. "Lo kok bengong sih, bodoh. Lari!"

Mereka lari dan keluar dari perkarangan rumah. Berdiri di tengah jalan yang sisinya tidak ada pohon atau tiang listrik. Beberapa orang sudah berkumpul di sana, beberapa lagi menyusul kemudian setelahnya.

Gempa berlangsung sebentar namun tentu saja ini cukup mengejutkan karna skala gempa yang cukup besar. Kampung mendadak riuh dengan suara takbir diselingi tangis anak kecil.

Janedi merangkul kedua anaknya selagi mulutnya berdzikir. "Ya Allah..." bisiknya.
Sekitar lima belas menit semua orang diam di luar. Kemudian, satu persatu orang bubar saat merasa sudah aman.

Gema memandangi sekitar dan memastikan tidak ada yang roboh atau hancur di sana. Sedang Egi, anak itu masih saja terpaku diam. Matanya melirik wajah sang abang dan tangannya bergantian. Gema belum melepaskan genggaman mereka. Hingga si sulung sadar, tangan itu segera dihempasnya panik.

Mata pemuda itu melirik adiknya malas. Dia masih marah pada Egi perkara sikap adiknya belakangan ini, ditambah anak itu malah melamun saat gempa. Sudah baik Gema masih mau menariknya.

"Gua pukul juga lo!" sentak Gema sebelum memilih untuk bubar dan kembali masuk rumah.

***

Egi pusing bukan main sejujurnya. Pikirannya tengah bercabang-cabang hingga sekedar untuk berkonsentrasi saja rasanya sangat sulit. Bukan sekali dua kali anak itu melamun hari ini.

Masalah dia bersama Gema makin hari makin banyak saja rasanya. Setelah dipikir-pikir, memang bukan masalah besar juga, tapi kalau menumpuk dan terjadi setiap hari, bukankah sang Abang akan semakin membencinya?

Mereka baru saja selesai makan malam. Tadi Bapak sempat berpesan untuk tidak mengunci pintu kamar malam ini, sebab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, mereka akan lebih mudah bertindak dan menyelamatkan diri.

Cowok itu terduduk lesu di ujung dipan. Melamun —merasa bersalah, sedang telinganya fokus menangkap suara dari pergerakan Gema. Abangnya pasti tidak jadi pergi main karena takut gempa.

Tapi memang benar. Egi sempat menguping sedikit tadi.

"Aku gajadi keluar. Mau di rumah aja liatin Bapak sama Adek," katanya Gema tadi. Padahal, Egi kan bisa saja menjaga diri sendiri sekaligus menjaga Bapak. Tapi mengingat apa yang selanjutkan sang abang katakan mampu membuat anak itu meringis bodoh.

"Kalau Bapak sama Egi doang di rumah, yang ada Bapak bakal kerepotan ngurus anak dongo itu."

"Hush. Itukan adekmu, Bang. Lagian memang bagus Abang di rumah. Bapak khawatir kalau-kalau nanti gempa lagi terus kamu jauh dari Bapak." Kira-kira, begitu respon Janedi saat itu.

Bocah kelas dua SMA itu kemudian berdiri lesu, menggeser baut gerendel pintu kamarnya, kemudian dengan cepat kembali menghempaskan badan ke atas kasur hingga dipan kayu itu berdenyit pilu.

Dia tidak mau ambil pusing lagi. Cukup berdoa saja semoga setelah ini semua akan baik-baik saja.

Tidak tahu sejak kapan, matanya sudah terkatup dengan bibir yang sedikit terbuka. Egi terlalu mengantuk hingga sekedar menempelkan punggung pada busa saja dia langsung sukses tertidur.

Semua berjalan aman hingga ntah di jam berapa, anak itu merasakan badannya terayun-ayun. Matanya yang berat dipaksa terbuka, berhadapan langsung dengan lampu gantung pada langit-langit kamar yang bergoyang kesana kemari.

Egi sayup-sayup mendengar suara Gema yang berteriak 'Gempa!' disusul suara dua pintu kamar yang sepertinya adalah kamar Gema dan Bapak. Tapi, sedetik kemudian, semua kembali sunyi.

Egi kembali terlelap.

"ANAK ANJING!"

Egi sukses duduk terperanjat. Mendapati sebuah besi gerendel pintu yang terlempar miris di sisi kakinya. Pintu ternyata didobrak paksa, dan yang mendobrak kini tengah berdiri dengan wajah merah padam di bawah lampu senter yang digenggamnya.

Itu bang Gema.

"LO ITU BUDEK APA BUTA? GOBLOK LO UDAH GUA BILANG JANGAN KUNCI PINTU!"

Egi tersentak takut. Matanya menyipit sebab silau. Sedang rasa kantuknya sudah lenyap berdetik-detik lalu sejak pintunya didobrak paksa oleh Gema.

"Gempa gede barusan, dan lo udah gua panggil-panggil tapi gak juga keluar!" Tangan si sulung mengepal. Meninju sisi pintu tua itu yang sudah miring posisinya.

Janedi di belakangnya menepuk pelan bahu Gema. "Abang, istighfar, Nak." Kemudian menggeser anak itu agar tubuh rentanya bisa masuk ke dalam kamar si bungsu.

"Egi keluar ayo. Malam ini tidur di kamar Bapak aja ya, sama bang Ge—"

"Ogah gua!" sentak Gema. "Males banget sama bocah dongo tukang nyari mati itu," lanjutnya.

Sedang Egi yang diam sedari tadi, tanpa sadar genangan air membendung di kelopak matanya. Bibir anak itu bergetar parau saat dia berteriak, "LO EMANG BENCI GUE KAN, BANG?"

"Sud—"

"IYA, GUA BENCI LO. BENCI BANGET. BARU SADAR? EMANG BEGO LO!"

Gema berteriak bersamaan dengan listrik yang kembali menyala. Egi bisa melihat abangnya itu sedang mengepalkan tangan dengan mata yang melotot serta wajah memerah di ujung pintu sana. Sedikit tertutupi badan Bapak yang berusaha menjadi penengah. Sedangkan Egi sendiri, dia masih terduduk dengan wajah yang total basah sebab air mata.

"KALAU GASUKA GUE, GAPERLU MARAH-MARAH LAH. KENAPA EMANGNYA KALAU GEMPA TERUS GUE GA KELUAR? BIARIN AJA SEKALIAN MA—"

"GEMA!"

Sebuah tinjuan mendarat begitu cepat di sisi bibir Egi. Gema memukul anak itu telak. Kemudian, Janedi panik saat dilihatnya bibir Egi berdarah. Mungkin terbentur gigi anak itu sendiri saat Gema melayangkan tinju.

Napas ketiganya naik turun. Meski sama-sama dapat dimengerti, Janedi tetap hampir saja ikut marah sebelum suara Gema kembali mengintrupsi.

"Gua itu—" Tangannya menunjuk kening sang adik. Giginya bergemelatuk menahan diri untuk tidak melemparkan tinju sekali lagi.

"—khawatir. Ngerti gak lo?" katanya sebelum memilih pergi keluar dari rumah di jam satu pagi.

[][][]

Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang