11. Egi, Abang, dan Telur Gulung Senja Itu

1.5K 300 4
                                    

Sesuatu yang tidak disangka terjadi. Abang berdiri dengan motor beat merah miliknya di depan gerbang sekolah. Saat itu, Egi sebenarnya sudah duduk di atas jok belakang motor Jaya, teman sekelasnya. Dengan cepat, anak itu memukul pundak temannya berkali-kali sampai si korban mengaduh.

"Jay, Jay, Jay, kagak jadi Jay!"

"IY-IYA IYA ADUH SANTAI ANJING." Si pemilik motor mengumpat sebelum memberhentikan laju motornya dan membiarkan Egi berlari menjauh.

"THANKS YO, JAY." Hanya itu yang bisa didengar Jaya saat langkah anak itu menjauh.

"ABANG!" Gema menoleh, mendapati sang adik tengah berlari dari arah parkiran ke arahnya. Pemuda itu hampir berteriak saat kaki adiknya tersandung sesuatu. Tapi untung saja Egi tidak sampai terjatuh.

"Hehehehe." Anak itu hanya cengengesan tidak jelas, menghasilkan decak malas dari sang Abang.

"Mau pulang gak lo?"

"Mau!"

Gema sudah duduk di atas motor dan memutar kunci saat si bungsu malah mengambil langkah mundur. "Bang, bentar Bang," katanya sebelum kembali berlari lagi.

Saat diperhatikan, rupanya Egi malah berlari ke arah jejeran pedagang kaki lima yang memang selalu mangkal di depan sekolah. Kaki-kaki itu berdiri pada sepeda tua familiar. Itu penjual telur gulung langganannya. Gema hafal sekali.

Perlu waktu yang agak lama rupanya, sebab antrian lumayan banyak. Tentu saja, ini memang jam pulang sekolah.

Tidak jarang, Gema mendapati si kecil menoleh ke arahnya. Tatapan itu persis bocah kelas satu SD yang takut ditinggalkan. Tidak disadari, sebuah kekehan keluar dari birai Gema.

Lagi-lagi Egi berlari. Anak itu mengangkat dua bungkus telur gulung yang isinya masing-masing ada empat tusuk. "Adek tadi ga habis uang jajannya. Ini buat makan sama Abang," katanya bersemangat.

Gema, tanpa mampu menahan senyumnya, membuang muka. Tangan yang paling tua menjangkau helm cadangan yang sudah tergantung sedari tadi, kemudian memasangkan benda itu ke atas kepala Egi. Persis seperti yang dia lakukan enam tahun lalu.

"Kita pulangnya agak sorean, ya."

***

Rute perjalan mereka bertolak belakang dengan arah rumah. Kendati pulang, si sulung malah membawa adiknya ke salah satu cafe di kota itu. Egi menurut saja saat disuruh turun dari motor. Dia hanya mengekori Gema dari tempat order sampai ke kursi di rooftop yang Gema pilih.

Ah, suasana seperti ini. Kapan ya, terakhir kali Egi dan Gema duduk berdua seperti ini?

Tidak lama, minuman yang dipesan datang. Segelas matcha latte milik Gema dan coklat hangat untuk Adiknya. Egi cukup takjub saat sadar abangnya masih mengingat hal sekecil ini.

Keduanya menikmati minuman masing-masing tanpa bicara. Egi sudah memberikan sebungkus kecil telur gulung milik Gema dan langsung dilahap pemuda itu sekali dua tusuk.

Si bungsu berdecih. Abangnya memang payah sekali dalam menikmati telur gulung. Tapi tak pelak bersyukur saat tahu makanan itu paling tidak betulan di telan bukan dibuang.

Rasanya ingin sekali bertanya. 'tumben, Bang?'
atau, 'kok tiba-tiba, Bang?'
atau bahkan, 'Abang sakit ya?'

Tapi sekali lagi, ini Gema.

Egi tidak mau nasibnya berakhir dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter sebab abangnya meninggalkan anak itu begitu saja di sini.

Di satu sisi, ada banyak hal yang ingin Gema sampaikan pada adiknya itu. Betapa dia masih merasa bersalah. Betap besar dia ingin meminta maaf dan berdamai. Tapi gengsi cowok itu jauh lebih tinggi dari bangunan yang tengah mereka duduki ini.

Gema hanya tak tahu jika sedikit banyaknya Egi sudahlah mengerti.

"Gua bosan."

"Ah?" Egi kelabakan. Gawat, dia pasti salah sudah membuat abangnya bosan begini. Harusnya memang benar anak itu berbicara saja tadi. Bagaimana kalau Gema tidak mau lagi berinteraksi dengannya? Bagaiman jika Gema sebentar lagi akan meninggalkan Egi sen—

"Gua bosan berantem terus. Ayo baikan."

To the point sekali.

Yang diajak bicara total sumringah, terlampau bahagia.

Anak itu mulai berpikir, apakah boleh dia berdiri dan melompat-lompat saat ini juga?

"Bang—"

"Langitnya bagus." Gema yang kepalang malu menunjuk langit di atas mereka. Senja mulai menguarkan cahaya oranye tanda hari tengah berebut dengan malam.

"Iya bagus. Egi senang," sahut si bungsu.

"Bodoh." Gema bergumam kemudian menyedot minumannya tergesa. Matanya petang ini cemen sekali, tidak berani menatap Egi sedikitpun.

Berbeda dengan bocah SMA itu, Egi sudah tidak ingat lagi dengan coklat hangatnya yang sudah mulai dingin diterpa angin sore. Dia tidak peduli lagi pada langit yang mulai menggelap.

Rasanya seperti tengah jatuh cinta. Anak itu senang bukan main.

Egi suka telur gelung. Dia juga suka pada langit senja. Tapi yang Egi tahu kali ini,

Dia lebih suka makan telur gulung di bawah senja bersama Bang Gema.

[][][]

Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang