18. Maaf Dari Egi [End]

2K 254 4
                                    

Seutas kalimat belasungkawa terjalin tanpa putus setelah masjid-masjid mengumumkan kabar duka. Denandra Gemima, selesai pada usianya yang ke dua puluh. Kematiannya yang tragis membuat hati orang-orang di sekitarnya sukses teriris.

Bunda Pagi ini sudah pingsan tiga kali. Terakhir saat pengafanan Gema sepuluh menit yang lalu.

Sedang Egi, anak itu hanya terududuk di kursi roda. Rasanya ingin mengamuk dan merutuki satu bumi. Bukankah ini terlalu mendadak? Dia kehilangan satu kaki dan Bang Gema.

Bukankah Tuhan terlalu jahat dalam mengutuknya?

Apa dia senakal itu untuk dihukum begini?

Menurut Egi, mereka celaka karena dia mengiyakan permintaan Bunda -jadi ini salahnya. Dia tahu Bang Gema celaka karena ingin menemuinya; sudah cukup tahu ini semua benar-benar salahnya.

Anak itu meraung miris. Egi hanya tak pernah bermaksud egois.

Satu-satunya orang yang paling tabah di sana mungkin hanyalah Bapak. Kelihatannya begitu.

Semua tau pria tua itu paling berduka. Bapak hanya tak mau semakin memperpuruk suasana.

Jenazah Bang Gema digotong beriringan setelah masuk keranda, dibawa ke arah masjid untuk disholatkan terakhir kalinya. Diikuti Egi yang kursi rodanya didorong Bapak pada barisan akhir. Bahkan hingga akhir hayat Gema, Egi tidak mampu mengantarkan Abangnya.

Egi belum sempat melakukan banyak hal dengan Gema. Dia sudah terlambat dalam banyak hal. Dan bocah itu menyesali semuanya.

Bunda memeluk tubuhnya saat mereka tiba di pemakaman. Rasanya seperti ingin berlutut dan memohon kepada siapapun untuk tidak mengubur Abangnya.

Egi tidak mau ditinggalkan. Dia tidak mau Bang Gema pergi. Tidak rela rasanya melihat tubuh itu harus dikubur dan diasingkan di bawah tanah sana sendiri.

Raniya meraung-raung kecil. Berusaha ikhlas tapi hatinya tentu sakit sekali. Egi mungkin tidak melihat, tapi wanita itu tahu persis keadaan Gema terakhir kali.

Putranya hancur. Dan hatinya berpuluh-puluh kali lebih hancur.

Memori itu berputar selayaknya kaset film rusak yang menari-nari.

Raniya pingsan kembali.

***

"Gaboleh nangis ya, kasihan Abang." Bapak mengingatkan. Sedang anak itu mengangguk.

Sore ini ziarah pertama Egi setelah tiga hari kematian Bang Gema. Anak itu sempat mengurung diri dan menangis seharian, tapi Egi kangen Abang katanya.

Bohong. Mana bisa anak itu menahan air matanya. Faktanya, baru menginjakkan kaki pada tanah di sekita makam sang kakak, bocah itu langsung menggigit bibir kuat. Berniat menahan air mata yang nyatanya sia-sia ditahan.

"Adek...." Bapak di belakang mengingatkan. Egi dengan cepat menyeka air matanya.

Anak itu diam sebentar sebelum mulai berbicara.

"Abang," panggilnya.

"Kaki gue copot satu." Kemudian dia tertawa sendiri. Ntahlah. Rasanya terlalu sakit untuk ditangisi. Jadi anak itu memilih untuk tertawa.

"Nih, yang kanan." Egi membuat gestur menunjuk dengan bibirnya. "Terus kakinya dikuburin di dekat Lo. Nitip ya."

Matanya kembali berkaca-kaca. Tapi Bapak bilang dia tidak boleh menangis. Nanti Bang Gema akan ikut sedih.

"Nanti,"

Anak itu berpikir sejenak.

"Kalau Abang sedih, curhat aja sama kaki Egi, ya. Kami bisa teleportasi."

"Telapati, Dek."

"Oh iya, itu."

Hening lagi.

Sejujurnya bocah itu sudah tidak tahu harus dengan apa lagi menghalau perasaan sedih.

"Gue bisa jalan, nanti. Nanti belajar jalan pake satu kaki." Anak itu terkekeh pahit.

"Sakit, Bang."

Air matanya perlahan mulai mengalir lagi. Janedi terlalu tak tega untuk menahan, jadi diusapnya saja bahu putranya.

"Jahat lo. Jahat banget sumpah." Anak itu menangis. Matanya yang sudah bengkak memerah semakin kentara menambah.

"Mending berantem ajalah kita sini, daripada mati begitu."

"Hush."

Egi masih ingin makan telur gulung bersama Bang Gema. Dia bahkan sebenarnya sudah membuat list kegiatan yang akan mereka lakukan setelah berbaikan kemarin. Anak itu belum sempat mengucapkan maaf pada Gema.

Egi senang mereka berdamai hingga terlalu kecewa saat sadar perdamaian ini hanya sementara. Tahu begini, dia memilih bertengkar saja setiap hari jika itu membuat Bang Gema bisa hidup kembali.

"Sakit, Pak.... Abang."

"Iya, Nak." Janedi mengusap bahu itu tiada henti. "Jangan lama-lama ditangisin Abangnya."

"Maaf, Bang. Adek minta maaf." Suara itu bergetar diterpa angin sore.

"Egi." Kursi roda itu diputar. Membelakangi makam Gema yang tanahnya masih merah. Janedi menarik pelan dagu putranya sampai Egi bisa melihat wajah sang ayah.

"Dengarin Bapak." Anak itu mengangguk pelan sembari menyeka air matanya menggunakan kerah baju.

"Bangun."

Yang paling muda menatap mata Bapak tidak paham. Sedang Janedi diam sesaat sembari menatap lekat netra pedih itu. Pria itu tersenyum kecil dan menggosokkan tangannya di atas kepala Egi.

"Gaada yang namanya rukuk dalam sholat jenazah itu, Nak." Bocah itu mengangkat kepalanya. "Jadi jangan pernah sekalipun kamu tunduk sama yang namanya kehilangan dan semua yang pergi."

[][][]

TAMAT bray. HAHAHAH TRIMS.

btw, ya maap kl tulisannya makin hari makin burik



Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang