8. Egi Tetap Anak Bapak dan Bunda

1.7K 331 3
                                    

Raniya terduduk lesu di salah satu sofa. Pikirannya tengah bercabang kini. Wanita itu tidak tahu harus apa dulu. Tetap di sini menemani putri kecilnya yang tengah terbaring sakit, atau memesan tiket dan pulang ke Solo dan menemui Egi.

Wanita itu tidak tahu apa yang dialami Egi di sana, anak itu tidak bercerita apapun sama sekali. Satu-satunya hal yang membuat Raniya ingin pulang ialah, Egi yang menangis dan bermohon-mohon atas kepulangannya tadi siang.

Sebenarnya, belum genap dua hari Raniya berada di rumah orang tua suaminya. Bukan liburan panjang yang memakan banyak waktu pula sejujurnya, tapi keadaan Hanny— putri kecilnya —yang mendadak demam tinggi sesaat setelah sampai, membuat Raniya terpaksa mengubah rencana dan menetap sedikit lebih lama.

Raniya khawatir Egi kenapa-napa walau dia tahu Janedi dan Gema bisa mengurus semuanya.

Pintu kamar terbuka. Itu Hendry, suaminya.

"Kenapa, Bun?" Pria itu menaruh tas berisi laptop miliknya ke atas meja. Matanya bergantian melirik sang istri dan putri kecilnya yang baru saja terlelap.

"Kenapa tadi nangis minta pulang?" lanjut Hendry.

"Aku mau pulang sebentar." Raniya berkata memohon.

"Tapi kamu 'kan tau Hanny lagi sakit?"

"Kalau kamu gabisa jagain Hanny karena kerja, kita kan bisa nitip dia ke Ibu atau Ayah dulu?"

"Loh." Hendry menyerngit.
"Gabisa gitu dong? Ibu Ayah juga ada kesibukaan sendiri dong."

"Satu hari aja. Perasaanku gak enak, Mas." Raniya berbisik sendu. Takut Hanny terbangun dari tidurnya.

Laki-laki dalam ruangan itu memijit keningnya pening. Badannya dibawa duduk di sebelah sang istri sebelum berkata, "Si Egi itu kenapa memang? Dia kan sama Bapak Abangnya juga di rumah?"

"Aku gatau, Mas. Egi gak cerita apa-apa. Tapi aku tau anak itu butuh aku!" Wanita itu mulai menyentak kesal. Tentu saja sang suami terpancing emosi pula. "Anakmu itu Hanny! Berhenti over protective sama anak itu!"

Raniya berdiri. Matanya menatap tak percaya pada suaminya sore itu. Walau hak asuh Egi tidak dipegang Raniya lagi, walau wanita itu sudah melakukan banyak kesalah berkali-kali, tapi bagaimanapun dia tetaplah seorang ibu.

Dengan begitu, wanita berusia empat puluh dua tahun itu menyambar sebuah tas miliknya. Raniya menatap tajam sang suami,

"DIA JUGA ANAKKU!"

***

Malam ini satu rumah terkejut saat mendengar pintu kamar Egi terbuka. Walau gengsi, Gema menanti-nanti sang adik keluar dan menampakkan diri. Sedang Janedi, pria itu lantas dengan segera berdiri dan menghampiri kamar si bungsu.

"Egi? Adek ayo makan dulu, Nak."

Tapi panggilan itu tidak digubris. Bunda bilang akan menjemputnya lima menit lagi dan Egi akan keluar pergi.

"Mau kemana lo?"

Langkah kakinya berdiri. Kedua tangannya mengepal perlahan. Egi menyahuti Gema tanpa melihat sang Abang. "Gue mau keluar sebentar."

Si sulung ikut berdiri. Hendak menahan yang paling muda agar tidak pergi. Bagaimanapun, Egi belum makan sama sekali hampir dua hari ini. Semua orang yang waras tentu saja sadar badan anak itu jadi lebih kurus dengan langkah goyah seperti orang linglung. Tapi, saat mendengar deru mobil yang tidak asing dari pekarangan rumah, tubuh Gema reflek bungkam dan diam.

Egi menghampiri sedan putih itu tanpa banyak bicara, bahkan sebelum Raniya sempat keluar dan bertanya. Mobil melaju cepat malam itu. Meninggalkan Janedi dan Gema dalam perasaan yang campur aduk tidak karuan.

Selama perjalanan yang ntah kemana, Egi diam. Anak itu duduk tepat di samping Raniya yang membagi fokusnya dengan jalanan dan putranya.

Raniya sadar jari-jari itu bergetar di atas paha. Wajah Egi yang pucat serta mata yang sembab menjelaskan kalau anaknya sedang kenapa-napa.

"Adek pasti belum makan, ya. Ayo Bunda juga belum makan. Kita pergi makan dulu, ya."

Wanita itu memutar stir ke arah kanan, membelah keramaian kota Solo di malam rabu. Tidak sepadat malam minggu, tapi Solo tetaplah Solo.

Kendaraan beroda empat itu berhenti pada salah satu resto ternama. Turun dan memesan private room, Raniya segera membawa putranya masuk dan duduk.

Air mata yang mati-matian Egi tahan akhirnya tumpah juga. Anak itu menangis tersedu-sedu dan mengatakan semuanya. Total membuat Raniya bungkam tak mampu bicara.

"Kenapa Bunda gak pernah bilang? Kenapa Bunda pergi ninggalin Abang, Adek, sama Bapak?"

"Semua gara-gara Adek, kan, Bun?"

"Abang selama ini benci Adek. Bapak juga pasti kesal rawat Adek sedangkan Adek bukan anak kandung Bapak. Kenapa Bunda ga bawa Adek sekalian?!"

"KENAPA BUNDA JAHAT?"

Semua pertanyaan diajukan tanpa berhenti. Raniya yang mendengarnya tak henti-henti mengucapkan kata maaf. Banyak yang wanita itu ingin katakan dan jelaskan. Dia hanya mencari waktu yang tepat. Tentu saja Raniya tidak menyangka Egi akan tahu secepat ini.

"Adek, dengar Bunda dulu."

Dadanya naik turun menahan luapan emosi. Sedikit banyaknya Egi tengah berusaha menahan diri dan menjadi lebih tenang.

Suasana haru penuh emosi itu sempat terjeda saat pelayan datang mengantarkan menu. Saat semua sudah tertata rapi, meninggalkan Raniya dan Egi berdua dalam ruang tertutup itu, barulah Egi kembali berani mengangkat kepala dan menatap sang Bunda.

"Jadi, sudah waktunya, ya, Dek?"

[][][]

Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang