Saat itu, adalah Gema berusia empat tahun yang tengah bersuka cita atas kelahiran adik satu-satunya. Anak itu diberi nama Egi Junandra —punya kesamaan Nandra pada namanya —tentu saja Gema suka.
Tumbuh besar bersama, bermain robot, kelereng, bola sepak, mengajari Egi bersepeda, semua Gema lakukan selayaknya Abang yang baik.
Semua kasih sayang dilimpahkan pada Egi. Gema mungkin saat itu sedikit iri, tapi tidak apa-apa sebab dia juga sayang Egi.
Sampai di tahun pertama Bocah itu memasuki Sekolah Dasar, Bunda dan Bapak mulai menunjukkan sikap aneh. Semua bermula pada malam di mana Bapak membanting handphone milik Bunda di tengah malam kemudian disusul suara teriakan wanita itu. Setelahnya, Bunda mulai jarang pulang, Gema tidak melihat lagi Bunda dan Bapak bercengkrama seperti biasanya.
"Abang, tolong jemput Adek, ya."
"Abang, Adek belum makan, Abang tolong kasih makan Adek, ya."
"Abang, temenin adek, ya."
Abang, Abang, Abang. Semua perlahan menjadi urusan Gema.
Semua berlangsung selama lebih dari empat tahun. Gema yang mulai memasuki fase remaja tentu saja mulai lelah dibuatnya. Dia juga punya kehidupan sendiri yang harus ia jalani. Sudah cukup menahan iri dan melimpahkan perhatian untuk sang adik selama ini, ditambah melihat Bunda dan Bapak yang semakin menjauh, membuat hatinya sakit.
Puncaknya adalah saat cowok itu pulang setelah mengantar Egi sekolah. Hari itu hari Sabtu, di mana SMA libur sedangkan siswa SMP memang harus tetap berangkat sekolah. Di balik kusen kayu, tepat setelah kedua sendalnya dilepas dengan tangan yang siap memegang gagang pintu, Gema mendengar suara Bunda yang berteriak kencang.
"KAMU MAU TAU APA? MAU TAU? IYA?"
Pemuda itu diam. Memilih menunggu apa yang akan dikatan sang ibu selanjutnya.
"EGI ITU BUKAN DARAH DAGING KAMU. PUAS?"
"Emang seharusnya kita pisah ternyata. Ayo cerai."
Yang Gema tahu setelahnya adalah, Egi penyebab segala kekacauan yang terjadi.
Anak itu adalah hama.
***
"Abang udah makan, Nak?"
Gema menggeleng malas. Enggan menanggapi perempuan yang berstatus Ibu kandungnya itu.
Raniya datang pagi tadi. Ingin memastikan keadaan dua putranya setelah gempa semalam. Bersyukur mereka tidak kenapa-napa walau yang didapatinya tetaplah Gema yang tidak lagi ramah.
"Ayo cari makan sama Bunda, yuk. Ajak Adek juga."
Si sulung mengangkat pandangannya. Menatap wanita itu dengan sinis.
"Bunda gausah sok baik deh," ketusnya. Mood Gema agaknya memang sedang buruk.
Walau sudah lama menerima maaf dan berdamai dengan keadaan, terutama Bunda, Gema terkadang masih sakit hati saat ingatan-ingatan lama itu berputar kembali.
Bagaimana Bunda yang melahirkan Egi hasil dari selingkuhannya. Kemudian bercerai dengan Bapak dan memilih hidup bersama pasangan barunya yang lain, meninggalkan anak dari Bapak; Gema. Dan Damar, nama laki-laki yang diakuinya sebagai ayah kandung Egi.
—meninggalkan Gema sendirian bersama banyak dendam.
"Bunda!"
Sebuah suara memanggil. Itu Egi yang baru keluar dari kamar setelah mandi. Anak itu langsung duduk dan bersaliman, yang tentu saja Raniya sambut dengan senyum hangat.
Melihat kedekatan Egi dan Raniya seujujurnya membuat si sulung mual. Bukankah sang Bunda ini tidak jelas? Gema bahkan tidak bisa membedakan kebohongan atau ketulusan dari raut wanita yang sudah meninggalkan keluarganya itu.
Atau perlukah Gema membeberkan semua kenyataan pada seonggok manusia bodoh berstatus adiknya itu?
Cowok itu menghela napasnya sendiri.
Seharusnya tidak begini. Seharusnya Gema memang harus lebih dewasa lagi.
"Adek udah makan?"
Egi menggeleng. "Belum."
"Kebetulan banget. Adek sama Abang belum makan, Bunda pun belum. Jadi ayo kita cari makan?"
Pertanyaan itu langsung dijawab anggukan semangat dari si bungsu. Membuat sang Abang yang awalnya menolak menjadi diam terpaksa.
Raniya mengelus kepala Egi dengan mata yang melirik Gema teduh. Wanita itu tersenyum dan menggerakkan kepalanya, memberi gesture menyuruh putra sulung bersiap-siap.
Egi menjadi orang pertama yang sudah duduk manis di dalam mobil. Duduk persis di tempat favoritnya; bagian kiri tengah. Membiarkan Bunda dan Bang Gema menyusul setelah mengunci pintu rumah sebab Bapak memang sedang pergi bekerja.
Raniya menhela napas pelan dan terkekeh. Sedang Gema memutar bola matanya malas.
"Kiri mulu lo, gajelas." Gema berkomentar. Sedang yang paling kecil hanya terkekeh kikuk.
Ya,
Biar saja semua orang heran atau mengatainya.
Menurut bocah itu, apapun alasannya, cukup Egi dan Tuhan saja yang tahu.[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest