Egi bangun dengan kepala yang luar biasa sakit pagi ini. Dia melirik jam dinding merah yang dipasang Bang Gema tahun lalu, yang kacanya sudah pecah di pinggir sebab jatuh saat sang kakak mendobrak pintunya lampau hari; sudah pukul sembilan pagi.
Ini hari ketiga Egi tidak bersekolah. Anak itu berdalih sedang sakit dan meminta Bang Fariq untuk membuat surat palsu dan mengantarkannya ke wali kelas bocah itu kemarin.
Mungkin besok Egi akan memilih berangkat lagi. Dia tidak mau kalau wali kelas dan teman-temannya tiba-tiba datang kerumah dan menjenguk dengan alasan Egi yang tidak berangkat sudah lebih dari tiga hari.
Anak itu keluar dan duduk di meja makan sendirian. Bapak mungkin sudah pergi kerja dan Bang Gema sudah berangkat kuliah.
Menemukan satu kertas kecil di dekat tudung nasi, Egi segera membuka penutup berbahan anyaman daun kelapa itu dengan cepat. Sadar bahwa surat itu dituliskan oleh Bapak agar anak itu tahu bahwa sang Ayah sudah memasakkannya lauk untuk dimakan hari ini.
Egi tersenyum sumbing. Benar kata Bunda, bagaimanapun, Egi tetaplah anak Bapak dan Bunda. Melupakan hal jelek yang memang sudah terjadi mungkin bukanlah pilihan buruk.
Anak itu melahap nasi putih dan ikan nila yang Bapak goreng dengan lahap, mengabaikan nasi yang masih mengepul asapnya sebab baru keluar dari rice cooker. Sarapan pagi itu terasa nikmat di samping kenyataan dia yang sudah kelaparan dari kemarin sebab menangis panjang. Ditemani sambal terasi khas Bapak, Egi menuntaskan sepiring nasi hingga butiran terakhir.
Setelah menyuci piringnya sendiri, Egi memilih untuk duduk di depan dan menyalakan tv rumahnya yang masih berbentuk tabung itu. Ia ingat, tahun lalu Bunda pernah menawarkan Bang Gema untuk membelikan televisi baru yang lebih layak, tapi ditolak sebab Bapak tidak mengizinkan.
Katanya, 'Kita jarang menonton tv dan Bapak masih punya uang untuk beli sendiri nanti.'
Di luar dugaan, saat sedang menonton acara televisi yang itu-itu saja, pintu rumah terbuka. Menampilkan sosok Bapak dengan kemeja hitam dan peci lusuh miliknya.
"Adek udah bangun?" Bapak melemparkan pertanyaan retoris. Sedang Egi hanya mengangguk.
Pria tua itu berjalan ke belakang. Melihat isi tudung yang berkurang tanda putranya sudah makan.
"Bapak dari mana? Adek kira Bapak pergi kerja."
Janedi sumringah. Senang bukan main saat sadar Egi sudah mau diajak bicara.
"Habis dari melayat di kampung sebelah. Hari ini belum ada kerjaan, tapi gapapa. Lagian Bapak mau sama bujang Bapak dulu sehari ini," katanya lembut.
Yang paling muda hanya merespon kalimat itu dengan anggukan sembari tersenyum. Suasana mungkin sedikit canggung pagi ini, tapi Bapak jelas sekali berusaha untuk mencairkan semuanya.
"Nanti sore Bapak mau mancing sama Bang Gema. Adek ikut ya?"
***
Bapak tidak bohong. Pria yang usianya sudah cukup setengah abad itu benar-benar mengajak kedua putranya untuk memancing di sungai sore itu.
Gema yang awalnya ogah-ogahan pun mendadak mengiyakan saat tahu Egi akan ikut. Cowok itu tidak paham kenapa, tapi sedikit banyaknya dia senang sekaligus lega saat tahu akan bertemu dengan adiknya yang selalu cerewet itu.
Kail pancing sudah disiapkan dengan umpan cacing di setiap ujungnya. Asap rokok bapak mengepul tinggi, menjadi teman santai sore ini.
Terhitung hanya beberapa menit, pancing milik Egi bergerak duluan tanda umpan dilahap. Anak itu sejujurnya hampir tidak pernah memancing. Terakhir kali mungkin saat kelas lima SD. Jadi, tentu saja kali ini Egi terlihat agak kepayahan.
Di saat yang tidak tepat, suara Gema yang keluar membuat yang paling muda sedikit kelimpungan.
"Gua minta maaf," katanya datar. Egi dengan spontan berhenti menarik pancingan. Detik kemudian, tangkai kayu itu mendadak menjadi ringan; hasil pancingannya lepas.
Tapi itu tidak lagi jadi fokus utama. Si bungsu malah dengan cepat berbalik badan dan menatap sang kakak dengan tatapan terkejut sampai Gema jadi malu sendiri. Bukannya apa, Gema itu tidak pernah sekalipun begini; meminta maaf duluan pada Egi.
"A-apasih?!" sentak si abang.
"Ulang, Bang." Egi meminta sekali lagi.
"Gua bilang maaf. Dah?"
Kedua mata itu berbinar. Satu senyum lebar menyambut di tengah ketiganya. "Lagi, lagi, Bang!" Egi berseru memohon.
Gema berdecih. "Maaf. Budek lo?"
Senyum yang semula lebar perlahan luntur lagi. Bohong sekali. Gema ternyata tetaplah Gema.
"Ssttss, kenapa jadi berisik? Liat ikannya pada kabur semua." Bapak mengingatkan.
Melihat si bungsu yang kini kembali fokus pada pancingnya dengan wajah yang ditekuk, Janedi dengan cepat mengelus rambut itu.
"Bapak juga minta maaf, Dek...."
Gema berdiri, beralibi kalau dia haus dan ingin mengambil minum dari dalam tas yang diletakkan tak jauh dari mereka. Sudah cukup cowok itu menurunkan gengsi untuk meminta maaf. Dia tidak mau ikut campur lagi.
"Bapak bisa jelasin kalau Egi ma—"
"Engga usah, Pak." Kepala kecil itu menoleh. Tersenyum seolah tengah menjelaskan kalau dia baik-baik saja. "Egi ngerti. Bunda sudah jelasin semuanya."
"Egi marah?"
"Engga."
Ini bukan sesuatu yang lebay. Tapi Janedi dengan segera membuang muka saat setitik air mata berkumpul di ujung kelopak miliknya. Dengan cepat menyekanya, Bapak dua anak itu kembali menatap yang paling muda sendu.
"Bapak beneran minta maaf ya, Nak. Makasih sudah lahir dan mau jadi anak Bapak." Sebuah pelukan terjalin begitu saja.
"Kebalik, Pak. Adek yang harusnya makasih karena Bapak mau jadi Bapaknya Adek."
Egi senang saat Bapak meminta maaf,
Egi senang jadi anak Bapak.
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest