Jikalau ada yang bertanya, Raniya sejujurnya bukanlah anak yang terlahir dari keluarga yang utuh. Dia besar bersama sang Ayah, hidup bergelimang harta, tanpa ibu yang sudah pergi lebih dahulu. Yang tidak wanita itu sangka adalah, di tahun kedua Sekolah Mengah Atas, Raniya yang saat itu masih gadis, jatuh cinta pada seorang pria.
Bukan yang pertama. Perempuan itu sudah banyak berkencan —tentu saja dengan pemuda yang dianggapnya kaya. Kehidupan gemerlang yang diberikan sang Ayah tentu saja membuat Raniya besar kepala. Berfikir bahwasanya yang boleh mendekatinya hanyalah pria dari kalangan atas itu juga.
Tapi saat itu, rasanya sangat berbeda. Itu Janedi, kakak kelas dua belas yang tiba-tiba mengajaknya berbicara di kantin siang itu. Mereka mulai dekat —menjalin hubungan. Janedi yang lebih dulu lulus berkata akan memilih bekerja di perusaan orang tuanya daripada kuliah. Memberikan janji manis, bahwa dia akan menunggu Raniya lulus, kuliah, dan wisuda, kemudian mereka akan menikah.
Ucapan itu tentu Janedi tepati. Sebuah poin penting yang membuat perempuan itu semakin jatuh hati.
Mereka menikah, hidup berbahagia setelah dikaruniai seorang putra di tahun kedua. Namun, sebuah malapetaka bagi Raniya suatu hari tiba.
Orang-orang bilang, 'banyak anak banyak rezeki'. Tapi tidak agaknya bagi perempuan itu. Hidup mereka yang terbilang mewah dan bahagia sebelum Gema hadir di antara keduanya, berubah dengan cepat. Bertepatan dengan kelahiran putranya, perusahaan Janedi dikabarkan mengalami penurunan besar.
Janedi bilang, ini hal biasa dan dia akan berusaha memperbaiki. Wanita itu hanya mengiyakan, berusaha beradaptasi dengan keadaan sekaligus menjadi seorang ibu untuk pertama kali. Hingga di usia Gema yang menginjak dua tahun, Ayah Janedi meninggal dunia. Perusahaan jatuh ke tangan orang yang salah, dan Janedi 'hancur' tak bersisa.
Raniya stress, tentu saja. Dia lelah hidup pada taraf yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan tanpa sepengetahuan siapapun, wanita itu mulai sering keluar rumah. Beralibi ikut mencari kerja guna membantu keuangan keluarga. Nyatanya, yang ia lakukan hanya bergonta-ganti pasangan. Menggait pria kaya atau hidung belang lalu meminta uang. Berkencan dengan banyak pria kemudian meninggalkan mereka.
Masuk ke dalam fase lingkar setan yang rupanya tak bisa ia hentikan.
***
Raniya sadar dari pingsannya. Saat itu, yang mampu ia dengar hanyalah tangis dari seorang bocah kecil dan bau rumah sakit. Itu Hanny, yang menangis kencang di samping kasur rumah sakit miliknya.
"Bun? Kamu udah sadar?" Seorang pria di belakang Hanny mengusap wajahnya kasar sembari banyak mengucapkan syukur. Rasanya, jantung Hendry akan jatuh saat itu juga jika sang istri tak kunjung bangun.
"Bun!" Hendry panik saat istrinya duduk secara tiba-tiba. Mengabaikan respon Hendry, Raniya dengan segera berusaha bangkit dan turun dari ranjang, dengan nama Gema dan Egi yang saat itu tak berhenti ia rapalkan.
Raniya hampir terjatuh kalau bukan Hendry yang dengan sigap menangkap tubuh itu. Kemudian dengan telaten membawanya kembali untuk duduk tenang di atas ranjang. Tatapan wanita itu kosong, tentu saja, Raniya pasti syok setengah mati.
"Bun, tenang dulu, Bun." Keadaan semakin ricuh. Ditambah tangisan Hanny yang semakin besar volumenya.
Jika dilihat secara fisik, tubuhnya tidak punya luka berat yang mengkhawatirkan, dan Hendry bersyukur atas itu semua.
"Gema, Egi. Abang sama Adek!" Raniya mulai menangis. Badannya bergetar dengan gesture memohon untuk menolongnya pergi melihat keadaan dua putranya.
Bahu sempit itu digosok halus. "Aman, Bun. Aman. Bunda tenang dulu."
Istrinya tidak boleh tahu keadaan Gema dan Egi terlebih dahulu. Jadilah Hendry dengan telaten memberi pengertian.
Raniya menangis keras. Bersaut-sautan dengan suara putrinya. "Bun, Hanny makin kencang nangisnya kalau Bunda ikut nangis. Semua baik-baik aja, percaya Ayah."
Wanita itu mengangguk. Berusaha berpikir positif dan mensugestikan diri sendiri bahwa semua baik-baik saja. Tapi di satu sisi, dia tetaplah seorang ibu yang tentu firasatnya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Raniya tak pernah membayangkan jika hari ulang tahunnya akan berakhir seperti ini. Dia hanya tidak menyangka akan secelaka ini.
Di tengah tangisnya, pintu kamar diketuk. Seorang suster masuk bersama satu orang lainnya yang terlihat menunggu di luar. Itu Gema. Cowok itu masuk begitu saja saat Raniya selesai diperiksa.
Badan anak itu terlihat diperban di beberapa sisi. Sedikit lebih parah dari dirinya tapi Gema terlihat tidak masalah.
Hendry berdecih kecil. Memeluk Hanny yang tangisnya mulai reda dan memilih untuk mundur beberapa langkah. Dia tidak suka dengan kehadiran Gema, tapi pria itu tahu jika sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan egonya sendiri.
"Abang? Abang gapapa, Nak?" Raniya bertanya panik. "Kenapa ke sini? Abang luka? Maafin Bunda, Nak. Abang harusnya istirahat aja—"
Gema diam. Dia hanya ingin tahu keadaan ibunya. Cowok itu menggeleng. "Aku gapapa, Bun."
Raniya kembali berusaha berdiri. Yang dengan sigap Gema bantu. "Bun, Bunda istirahat aja," katanya panik.
"Engga. Egi. Egi mana? Adekmu mana?"
Cowok itu menggigit bibirnya khawatir. "Egi di kamar sebelah, Bun. Nanti kesini. Bunda istirahat dulu."
"Gamau. Kamu yang istirahat. Bunda mau ketemu Egi!" Raniya sedikit berteriak. Memaksakan diri berjalan keluar ruangan. Kantung infus yang dia genggam mulai terguncang. Membuat cairan merah pekat dari tangannya naik ke atas melalui selang.
Mengabaikan rasa sakit dan Hendry yang menahan, wanita itu tetap berjalan dengan menarik sedikit baju putranya. "Mana Egi? Kamar Adek di mana?"
Cowok itu dengan terpaksa membimbing sang ibu ke arah sebuah ruangan. Sebuah plang yang menandakan ruangan tindakan tertera di atas pintunya.
"Egi di sana, Bun."
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Dari Egi ✔️
Teen FictionEgi hanya tak pernah bermaksud menjadi egois. - cover by. pinterest