17. Bukan Pilihan

1.4K 259 3
                                    

"Maafin Bundamu, Nak. Maafin Bapak."

Ditemani dua gelas teh hangat di teras rumah, Bapak dan Gema duduk berdua memandangi hujan sore itu. Itu kantung teh terakhir milik mereka minggu ini, diseduh satu berdua. Kata Bapak, nanti beliau aku belanja di senin pagi kalau televisi milik mereka sudah laku terjual. Sebab saban hari, pria itu menitipkan benda tersebut untuk dijual oleh Pak Adi.

Televisi itu jadi barang berharga terakhir yang Bapak jual.

Gema diam. Sayup-sayup mendengarkan penjelasan Bapak di tengah deras hujan. Sebenarnya ingin mengamuk dan marah, tapi ini kali pertama Bapak mau mengobrol dan duduk berdua.

Bapak saat itu menjelaskan banyak hal. Yang tidak pernah Gema tahu —yang perlu Gema tahu.

"Abang berusaha berdamai, mau, ya?"

Kenapa?

Kenapa dia harus dipaksa dewasa sedari dulu? Kenapa dia punya Bunda yang tega seperti itu? Kenapa Bapak bertahun-tahun menelantarkan mereka dan memintanya mengurus Egi sendiri? Kenapa anak itu harus lahir dari sebuah kesalahan yang menjadi akar penyebab kehancuran?

Kenapa dia harus mengalah?

Sungguh, banyak pertanyaan-pertanyaan semacam itu di benaknya —yang tak pernah terjawab. Cowok itu menghela napas berat. Tidak mampu menjawab selain memberi anggukan kecil.

Bukannya mudah menerima kepergian Bunda. Bukannya mudah menjadi seorang kakak dan anak tertua di rumah. Tidak mudah jadi Gema yang dipaksa menerima banyak hal.

Tangan Janedi terangkat, kemudian dapat dirasakan telapak kasar itu mengelus lengan yang paling muda.

"Bapak mau perbaiki banyak hal. Abang mau coba bareng?"

***

Tidak ada yang mampu dia rasakan selain sayup suara kerumunan. Tubuhnya mati rasa, bahkan hujan yang jatuhnya keras bagai batu sudah tidak lagi Gema rasakan.

Yang pemuda itu tahu, Gema mendengar suara pekikan Bapak. Badannya diangkut ntah oleh siapa, untuk apa, dan pergi kemana, Gema sudah tidak tahu.

Semua gelap.

Roda-roda dari ranjang rumah sakit didorong kencang. Menghantarkan harapan besar pada setiap putaran.

"Gem! GEMA!" Itu suara Bunda. Bunda menangis, ya?

"SELAMATIN ANAK SAYA! GAMAU TAU, TOLONG DOK—"

Kata Bapak, Bapak benci Raniya, tapi dia tidak benci Bunda. Gema pun harus begitu.

Andai bisa mengatakan jujur, Gema hanya ingin bilang, bahwa selama ini dia tidak pernah benar-benar benci Bunda.

Hatinya hanya sakit saat bertemu wanita itu. Gema hanya tidak mampu mengontrol perasaannya.

Dia tidak benci keluarganya. Gema hanya benci dengan takdirnya.

Sebab, menjadi anak sulung dalam keluarga Janedi, bukan pilihan Gema sendiri.

[][][]

Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang