22

712 22 11
                                    

Setelah kejadian itu, warga langsung pergi menuju rumah pak RT, dan melaporkan kabar buruk itu, barulah mereka bersama pak RT melapor ke kantor polisi terdekat. Setelah polisi menerima laporan itu, dengan sigap mereka menuju ke lokasi tepat perkara terjadi dan mengusutnya, di saat polisi datang ternyata tempat itu sudah banyak sekali warga yang datang, sehingga polisi harus memasang garis polisi untuk mengamankan bukti kejadian untuk kepentingan penyidikan.

SKIP TIME KEESOKAN HARI DI SEKOLAH

“Guys mau ke kantin ?” Tanya Cici.

“Titip dong, somai 5000.” Jawab Galda dengan kepala diatas meja dengan tangan terulur memberikan uang 5000, yang diambil oleh cici dengan muka ditekuk.

“Lo ?” Tanya cici pada  Melda.

“Samain.” Jawab Melda dengan memberikan uangnya pada cici.

“Vio lo....” Kalimat Cici menggantung.

Mereka pun menjadi murung,  mengingat saat kebersamaan mereka dengan Violen. Yang sudah tiga hari berlalu setelah berita itu menyebar, dan kini tidak ada kabar apapun.

“Ayo.” Ajak Melda memecah keheningan.

“Galda gak ikut ?” Tanya Melda

“mager.” Ujarnya dengan kepala masih diatas meja.

Ahirnya hanya Melda dan Cici yang ke kantin, sesampai dikantin segera mereka menghampiri penjual somai dan memesan untuk mereka. Sembari menunggu pesanan, mereka duduk di bangku tanpa mengobrol, di saat itulah tiga orang berhenti didepan mereka.

“Yang kacamata udah ketemu.”

Mereka hanya menatap ketiga orang itu, malas meladeni.

“Violen kah namanya ?”

“Kasian banget, jelek, ilang lagi.”Ujarnya dengan muka sedih yang dibuat-buat berlebihan.

Di belakang tak jauh dari mereka, seorang laki-laki dengan wajah tampan namun raut wajah tak menyenagkan duduk bersama teman-temannya. Raka memperhatikan orang yang tak sengaja dia dengar sedang membicarakan Violen. Tiga orang ini tak lain adalah Riana dan kawananya, yang asik membicarakan Violen.

Dari samping, Geren dan Vidan berjalan melewati mereka.

“Hay.” Sapa Riana.

Namun Geren dan Vidan hanya cuek sekedar menolehpun tidak. Mereka berlalu menghampiri Raka, dan bergabung bersama.

“Ahahaha.” Tawannya canggung.
Melihat respon yang didapatkan Riana, membuat Cici dan Melda tak kuasa menahan tawa.

“Apa?” Bentaknya, dan pergi begitu saja.

“Rak gimana kabar lo ?” Tanya Geren.

“Mendingan sih, yah cuman lo bisa liat sendirikan.” Sambil memperlihatkan tangannya yang dibalut Gips.

“Vid lo kenapa?” Tanya Raka yang melihat wajah Vidan yang pucat.

“Gak taulah lemes banget, perut gue sakit dari kemaren.” Ujarnya.

“Kenapa gak izin?”.

“Males gue suasana di rumah.”
Mereka hanya diam memahami maksud dari Vidan.

Suasana di kantin yang tadinya ramai, kini menjadi tambah ramai, mereka tampak sibuk dengan HP mereka, entah apa yang membuat mereka sebegitu heboh, kecuali Cici, Melda, dan Raka dan kawan-kawan.

Cici dan Melda tampak bingung dengan kehebohan yang terjadi sampai Galda dengan tergopoh-gopoh datang menghampiri rombongan Raka yang sedang asik makan.

Kedatangan yang begitu tiba-tiba membuat Raka dan semuanya terkejut.

“Kak liat nih.” Ujar Galda sambil menyodorkan Hpnya.

Cici dan Melda pun ikut bergabung.
Galda menunjukan pada mereka sebuah Video berdurasi 10 menit yang menampilkan sebuah adegan perkelahian antara seorang perempuan melawan 7 orang laki-laki. Walaupun perkelahian itu direkam dari jarak yang agak jauh, namun perkelahian itu dapat dengan jelas terekam, hingga suara hantaman, pukulan, dan rintihan dapat didengar jelas, perkelahian itu benar-benar sengit dan berutal, nampak dengan jelas seorang perempuan bersusah payah melawan 7 orang.

Mereka nampak mengenali seorang perempuan itu dari pakaian yang ia kenakan dan walaupun tidak terlihat jelas memperlihatkan wajahnya, namun Raka, Geren, Vidan, Cici, Galda, Melda tau itu adalah Violen, terutama Raka yang begitu ingat ketika terahir kali melihat Violen dengan pakaian itu.

“Kirim linknya ke gue.” Ujar Geren yang langsung dituruti Galda.

Namun Galda baru ingat kalau dia tidak memiliki nomor Geren.

“Nomornya kak?”
Gerenpun langsung menghambil HP Galda dan mengirim link itu lewat sms.

“thankyou.” Lalu mengembalikan HP Galda.

“Vid ayo.” Tau maksud dari Kak Geren, Vidan langsung mengangguk.

Merkea beranjak dari bangku meninggalkan kantin, namun saata meninggalkan kantin “Bruuukkk” Vidan tiba-tiba pingsan, semua orang menjadi panik.

DI RUMAH SAKIT

“Dok bagaimana kondisinya dok?” tanya nyonya Gustomo pada dokter yang memeriksa anaknya Vidan.

“Sebelumnya apakah anak ibu pernah mengeluh kan sakit ?”. Tanya dokter

“iya dok dari kemarin dia mengeluh kalau perutnya sakit.”

“Dari hasil pemeriksaan Vidan tidak mengalami penyakit apapun, tapi kondisinya saat ini menunjukan gejala anemia, .”

“bukan penyakit parah kan dok.” Sela Nyonya Gustomo
Dengan senyuman dokter itu menenangkan Nyonya Gustomo

“Ibuk jangan khawatir, biarkan dia istirahat, dan kalau dia sudah sadar segera hubungi kami.”

"baik dok.”

“kalau begitu kami permisi dulu.”

Hening

“Geren dimana kakakmu sama temen mu tadi.”

“kak Rendra kekantor ayah bun, sama Raka.”

“Bunda istirahat aja biar aku yang jaga Vidan.”

Nyonya Gustomo pun tersenyum lembuat, “Tolong ya Geren jaga Vidan sebentar.”

Diapun berjalan menuju sofa lalu berbaring disana. Geren yang melihat kondisi ibunya seperti ini membuatnya bersedih. Dia hanya memandangi ibunya yang sedang terlelap di sofa, mengalihkan perhatiannya ke sosok disampingnya, Vidan, dia terbaring dengan wajah yang pucat. Diambilnya kursi agar dia bisa duduk di samping ranjang Vidan.

Violen Pov

Saat tersadar aku berada diruangan seperti ruangan oprasi, dimeja terdapat peralatan medis tak jauh dari tempat aku berbaring, bau dari cairan sterilsasi menusuk tajam di hidung, aku lihat kondisiku kini sangat parah, perutku tak berhenti berdenyut, dengan warna pakainku yang kini telah berubah dominan noda darah, aku mencoba tenang dan sebisa mungkin rileks, supaya luka tusukan diperutku tidak terlalu banyak mengeluarkan darah, aku bisa sadar seperti sekarang ini adalah sebuah keajaiban, walaupun keajaiban yang tidak memberiku keberuntungan.

“Cklek.” Pintu terbuka dan masuklah seseorng dengan masker di wajahnya.

Dia melihat ke arahku sekilas, lalu berjalan mendekati meja tempat alat-alat medis, nampak dia memeriksa satu-persatu pisau di meja itu, perasaan ku kali ini benar-benar tidak enak, apa yang sebenarnya akan terjadi padaku selanjutnya.

Orang itu mengenakan pakain seperti layaknya dokter di ruang oprasi, berjalan mendekatiku.

“Hallo.” Sapanya

Dan aku hanya bisa menangis tak bisa mengendalikan ketakutanku, aku takut benar-benar takut.

“Mau tau gak, saya mau apa ?”

Aku hanya bisa diam tak berbicara.

“saya mau ambil jantung kamu, hati kamu, ginjal kamu, otak kamu, mata kamu, paru-paru kamu.” Ujarnya sambil menghitung ucapanya dengan jari.

“Boleh ya ?”

Air mata ku mengalir deras, menangis tanpa suara, hanya bisa berdo’a dalam hati memohon pertolongan.

“Kamu mau dibius, atau dicekek, atau gimana?” tanyanya.

“bius ajalah ya, yang gampang.” Ujarnya.

Orang itu pun pergi menuju meja tempat obat-obatan, dan mengambil cairan obat dengan suntikan. Aku bener-benar ingin lari dari sini, namun aku tidak punya tenaga, sekedar bangun saja aku tidak sanggup.

Orang itu berbalik, dan mendekat ke ranjang tempat aku beraring lemah tak berkutik. Senyumnya begitu mengerikan tercekat melalui matanya, tangannya yang memegang jarum suntik diletakkanya dipipiku. Melihatku menangis tanpa suara membuatnya menjauhkan jarum itu dari wajahku.

“Maaf sayang, aku gak bakal buat kamu kesakitan kok.” Ujarnya dengan suara dibuat-buat sedih, namun tidak dengan ekspresi matanya.

Diapun memegang lenganku lalu menyuntikan obat bius itu, hingga membuatku perlahan-lahan kehilangan kesadaran.

“Door.” Tiba-tiba terdengan suara tembakan dari luar.
Mendengar suara tembakan itu, dia mengecek keadaan diluar lewat jendela, nampak dari luar para polisi datang dan sudah mengepung, diapun panik, dan dengan tergesa-gesa membereskan peralatan yang ada dimeja.

“Door.” Suara tembakan kembali terdengar. Dia semakin panik lalu pergi meninggalkan ruangan ini.
Dalam hati aku sangat bersyukur, sangat-sangat bersyukur hingga akau menangis sejadi-jadinya.
Namun orang itu kembali masuk, dengan raut panik dia cepat-cepat mengunci pintu, lalu menghampiriku dengan pisau ditangannya.

“Brraak.” Kini pintu terbuka dan masuklah tiga polisi dengan baju anti peluru dan bersenjata lengkap.

“jangan mendekat.” Teriaknya panik.
Dia menarikku agar aku berdiri, dengan susah payah akibat obat bius membuat ku sulit mempertahankan kesadaran.

Suasana semakin buruk, polisi sedang berusaha membuatnya terpojok, namun itu malah membuatnya semakin nekat, higga dia benar-benar mengoreskan pisau dileherku, darah segar mulai keluar, rasa dingin dan perih menyatu di leherku.

Aku mulai limbung, sehinngga dia yang menyandraku juga ikut limbung. “PRANG” peralatan medis yang tertata rapi di meja jatuh karena tersenggol. Namun itu membuat ku punya kesempatan, dengan cepat aku mengambil pisau medis yang berada dekat dengan tanganku.
Ku pegang erat pisau ditanganku, dan mengumpulkan tenaga juga mengmpulkan fokusku, lalu menusuk kakinya dengan pisau ditanganku.

“ARRGGHH ” Teriaknya menahan kesakitan. Sebuah pisau menancap dipahanya membuatku akhirnya dapat bebas dari sandranya.
Aku jatuh terduduk dilantai dengan keras yang menyebabkan luka diperutku kembali mengeluarkan darah. Mendapat peluang, polisi segera membekuk orang yang berpakaian dokter itu.

“Lapor Korban berhasil diamankan , korban mengalami luka parah, masuk.”

Salah satu polisi berkomunikasi dengan alat komunikasinya.

“..........”

“dimengerti Siap laksanak.”

Tidak lama dua orang medis pun masuk, dengan sigap mereka memeriksa terlebih dahulu kondisiku, lalu mengangkatku perlahan dan membawaku keluar mengunakan tandu.

Violen and

RUMAH SAKIT

“ckelk.” Bunyi pintu terbuka.
Yang ternyata itu adalah Herman Prabu Gustomo, Arendra, dan juga Raka. Mereka baru saja kembali dari kantor polisi. Ditangan Arendra membawa dua kantong asoy yang didalamnya ada makanan dan juga air mineral.

“Ada kabar.” Tanya Puja Wahalingsih.

“Jangan terlalu dipikirin, kita harus sabar, polisi sudah langsung bergerak, kita tunggu saja kabar baiknya.” Jawab Prabu Gustomo dengan suara beratnya yang terdengar lirih.

“Vidan giman.” Tannyanya lagi.

“belum bangun yah.” Jawab Geren.

“Ya udah ayo kita makan dulu, tadi ayah sudah beli nasi.”

Mereka pun berkumpul duduk lesehan dilantai yang dialasi ambal.

“Raka ayo makan juga.”

“gak apa-apa om saya masih kenyang.”

“Ayo makan, kenyang dari mana kamu, dari tadi siang ikut saya, kapan makannya kamu, ayo.” Paksa Prabu Gustomo.

Ahirnya Raka pun ikut bergabung dengan mereka. Setelah mereka selesai makan, setelah itu bersama-sama mereka menunaikan shalat isyak.

Tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 20.30 malam.

“Rak, kamu pulang naik apa.” Tanya Prabu Gustomo

“Mobil, nanti dijemput om.”

“Cklek” saat itu pintu terbuka, dan masuklah orang tua dari Raka. Mereka datang untuk menjemput Raka dan sekalian menjenguk Vidan.

“Om ini Ayah sama Ibu saya.” Raka memperkenalkan kedua orang tuannya.

“Oh mari masuk.”
Mereka pun berkumpul dan duduk disofa.

“Maaf saya kemarin belum sempet menjenguk Raka.”

“Tidak apa-apa, saya maklum. Lalu bagaimana, apa sudah ada kabar dari kepolisian.” Tanya Ayah  Raka.

“kalau sekarang belum, tapi polisi sudah mengambil tindakan.”

Mereka pun mengobrol membicarakan banyak hal mengenai anak-anak mereka, pekerjaan mereka dan lainnya. Dan pada saat mereka asik mengobrol, saat itu Vidan ahirnya sadar. Geren yang melihat Vidan sudah duduk di ranjangnya terkejut, dan langsung menghampirinya, diikuti yang lainnya.

Tatapannya kosong memandang kedepan, dalam hati dia bergumam
‘apa yang barusan, ternyata mimpi, namun benar-benar terasa nyata. Apa yang tadi Vio.’

“Vio sekarat.”

Kalimat singkat, dan jelas yang diucapkan Vidan membuat semua orang tercekat.

“Vid maksud kamu apa, gak lucu.” Ujar Geren

“Aku buktinya.” Ujar Vidan dengan mata yang berkaca.

Semua orang hanya terdiam, situasi yang benar-benar membuat frustasi. Arendra menyodorkan air minum, yang langsung diterima Vidan dan meneguknya habis. Lalu berbaring lagi.

Sadar akan situasi Keluarga Raka memutuskan untuk pamit

“kalau begitu kami mau pamit pulang dulu pak Gustomo, sudah malam.”

“Oh iya, dan terimakasih karena sudah membesuk Vidan, hati-hati dijalan pak.”

“Iya, sama-sama, kami pamit dulu kalau begitu.”

Merekapun pergi meninggalkan kamar inap Vidan.

‘DRUTT.....DRUUUUTTT’ mendengar suara getaran yang berasal dari handphone di atas meja, membuat semua orang terfokus pada benda itu. Pemiliknya pun segera mengambil handphon itu.

Disana tertera ‘MABES POLRI’ semuanya diam dengan sejuta pertannyaan dibenak.

“Hallo”

“......”

“Saya Herman”

“.......”

‘TUT’ Panggilan Telpon berahir

“Ada apa Yah.” Tannya istrinya.

“Violen sebentar lagi kesini” jawabnya.

Mendengar berita itu, istrinya seakan tidak percaya, dia menghampiri suaminya meminta diulangi apa yang barusan iya dengar.

“Violen ketemu.” Ulangnya.
Mendengar kalimat itu jelas, Puji Wahalingsih menangis sejadi-jadinya di pelukan suaminya.

Tbc

Si JelekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang