"Kenapa?" Ditha menatap putranya tidak percaya. Tiba-tiba saja Aldi berkata kalau acara lamarannya malam ini tidak jadi. Rachel dan Gilang, ayah Aldi hanya bungkam.
"Juna nggak restuin, Bu," Padahal tadi Aldi sudah berkoar-koar kalau ia akan tetap menikahi Aulia tanpa atau dengan restu Juna.
"Kok bisa? bukannya Mas Juna yang bantu Abang PDKT-an sama Kak Yaya?" Kini Rachel yang bertanya.
"Panjang ceritanya."
"Tapi ada alasannya kan, kenapa Mas Juna tiba-tiba nggak ngasih restu." Rachel terus mendesak Aldi supaya bercerita.
"Panjang, Racheeeel..." Begitupun dengan Aldi yang juga bersikeras tidak mau bercerita. Ia tidak ingin masalahnya dengan Jia melebar. Toh, ia juga sudah menolak permintaan Endah untuk menikah dengan Jia.
"Yaudah, aku tanya ke kak Yaya aja." Rachel merajuk, dia berlalu menuju kamar meninggalkan keluarganya di ruang tengah.
Aldi menatap kedua orang tuanya. Ditha masih saja manuntut penjelasan lewat tatap matanya. Sedangkan Gilang masih saja diam. Aldi mendesah, tanpa ingin menjelaskan apa-apa, ia juga pergi menuju kamarnya.
Kamar nuansa abu-abu itu adalah tempat ternyaman versi Aldi. Ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Ia mulai memejamkan matanya, berharap hari ini berjalan sesuai yang diharapkan walau itu hanya dalam mimpi.
OoO
Pukul 10 pagi, Aldi sudah bersiap menuju kampus untuk mengajar. Wajah yang biasanya cerah itu kini temaram dan suram. Rasanya malas sekali untuk pergi kemana-mana.
Kalau bukan karena pekerjaan, Aldi lebih memilih berbalik arah ke kasurnya. Apalagi hari ini tidak ada jadwal ke kelas Aulia.
Sesampainya di kampus, Aldi pergi ke ruangannya, niatnya ingin bermalas-malasan dulu di sana. Aldi membuka pintu ruangannya. Ruangan berukuran 10 x 10 meter itu dihuni oleh tiga dosen sekaligus.
Di ruangannya, sudah ada pak Zaka dan bu Jia yang sedang berbincang. Aduh, kenapa juga harus ketemu Jia di sini. Bukannya Aldi tak mau bertemu, tapi yang ada nanti malah makin runyam masalahnya.
Aldi tidak bodoh, ia tahu kalau Jia suka padanya. Terlihat dari sejak ia dikenalkan pak Candra. Jia selalu menempel padanya.
Aldi melempar senyum pada kedua rekannya. Niatnya untuk bermalas-malasan di sana jadi luntur. Sedikit kesal juga, kenapa tadi tidak langsung ke kelas saja.
Aldi tidak ingin bertemu Jia dulu. Ia ingin menghindari apa-apa yang berhubungan dengan Jia. Lalu kembali dekat dengan Aulia.
"Mau ke mana, Pak?" Pak Zaka heran. Aldi belum duduk, hanya berdiri di depan pintu sambil melempar senyum kala melihatnya, lalu sekarang langsung ingin keluar. Faedahnya ia masuk dengan muka kusut seperti malas bekerja, apa?
"Mau ke kelas, pak. Kan saya mau ngajar."
"Terus ngapain masuk sini?" tanya pak Zaka.
"Kemarin di meja saya ada cicak lagi pacaran. Mau ngecek aja, cicaknya udah diazab apa belum. hehe," jawab Aldi sekenanya. Tak ingin membuat pak Zaka makin bingung, ia segera pamit. "Saya duluan, mari Pak, Bu,"
Aldi tersenyum hormat sebelum meninggalkan ruangannya. Sekilas dilihatnya wajah Jia yang tampak sedikit kecewa.
Ia segera menuju ke kelas tempat ia mengajar. Tempatnya tepat di samping kelas Aulia. Diintipnya kelas itu sebelum ia ke kelasnya.
Aulia sedang duduk di sana, memainkan ponselnya dengan enggan. Aldi sedikit lega saat dilihatnya muka Aulia yang rak kalah kusut dari dirinya. Artinya, Aulia juga sedih, kan?
OoO
Seminggu berlalu, namun hubungan Aldi dan Aulia malah bertambah renggang. Aulia selalu saja punya cara untuk menghindar. Semua pesan hanya dibaca tanpa ada balasnya.
Di samping itu, Jia juga makin gencar mendekati Aldi. Apalagi Endah juga terlihat sangat mendukung hubungan sepihak Jia dan Aldi.
"Pak Aldi," sapa Jia saat Aldi baru saja duduk di kurisnya. Saat ini hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu.
Aldi menoleh dengan malas. Biar saja Jia tahu kalau Aldi sedang tak ingin diganggu.
"Saya bawa bekal buat pak Aldi. Dimakan ya, pak." Jia meletakkan kotak makan warna biru di atas meja Aldi.
"Hmm," balasnya. Bukannya memberi Jia harapan dengan menerima pemberiannya dengan senang hati, tapi Aldi hanya berusaha menghargai Jia. Lumayan juga bisa berhemat. Lagipula, masakan Jia juga enak.
"Oh iya, saya boleh main ke rumah Pak Aldi, nggak? Saya pengen ketemu sama Ibunya Pak Aldi. Pasti seru banget, deh." ujar Jia antusias. Ia memang sudah berkali-kali bilang kalau ingin bertemu Ditha. Tentu saja Aldi tahu kalau ada udang di balik batu.
"Maaf bu, saya sedang sibuk. Tolong jangan ganggu saya dulu." Aldi menolak halus.
"Tapi ini udah jam makan siang lho, Pak. Nanti Bapak sakit kalau nggak makan. Bapak makan dulu aja, deh. Apa mau saya suapin?" tanya Jia.
Aldi langsung mendelik. "Nggak usah, Bu. Nanti saya makan. Terima kasih,"
"Kok nanti, sih? Sekarang aja saya suapin." Jia tiba-tiba membuka kotak bekal itu. menyendok nasi beserta lauknya.
"Ini, Pak. Aa dulu," Jia mengangkat sendoknya, menyuapi Aldi seperti menyuapi bayi.
Aldi menolak. Ia mengangkat tangannya, mendorong pelan sendok itu supaya menjauhi mulutnya. "Nggak, Bu. Saya bisa sendiri." Aldi mulai jengah.
Namun Jia juga masih gigih ingin menyuapi Aldi. Tangan satunya ia gunakan untuk menyingkirkan tangan Aldi.
Ternyata capek juga menghadapi Jia. Aldi lebih memilih mengalah, ia menerima suapan dari Jia. "Satu suapan lalu bu Jia bisa pergi." Aldi mengajukan syarat.
Jia mengangguk semangat. Diarahkannya sendok itu ke mulut Aldi. Aldi membuka mulutnya, sendok itu sudah akan masuk ke mulut Aldi sebelum pintu ruangan sialan itu terbuka.
Aldi dan Jia masih terpaku dengan posisi tadi, terlalu kaget melihat siapa yang tengah berdiri di depan pintu. Pak Zaka. Entah kecanggungan apalagi yang akan terjadi nanti.
"Pak Aldi, Bu Jia?" tanyanya heran. Aldi gelagapan, ia segera sadar dengan posisinya yang sangat bisa menimbulkan fitnah ini. terlebih tidak ada satu orang lagi di sini.
OoO
WOI ALDI, JANGAN AULIA SAMA JIA DIEMBAT JUGA DONG! 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
MADOS [TERBIT]
Teen FictionMADOS >>[ Ma Dosen ]<< belum direvisi "Loh?! Pak Aldi?!" "Aulia?" "Bapak ngapain di sini?!" "Saya nunggu orang. Dia adik dari sahabat Saya." "Saya juga nunggu orang. Dia temennya kakak Saya. Bisa pas gitu ya, Pak?" "Iya," "Eh? Loh? Pak..." "Kenapa...