Main Hati - 18

97 10 0
                                    

Arnold tak lelah mengejar cinta Sandra, karena setelah sang ibu memberitahu bahwa ia boleh memutuskan hubungan perjodohan dengan Siska asalkan Sandra mau menikah dengannya, membuatnya mendapatkan lampu hijau atas perasaannya pada Sandra. Sebelumnya ia yakin sekali kalau ia akan bisa mendapatkan hatinya Sandra, namun setelah melihat kedekatan antara Sandra dan Alvin, membuatnya harus extra merebut perhatian Sandra.

Alvin sialan!!! Seharusnya mendapatkan perhatian Sandra lebih mudah ia dapatkan, jika saja Alvin tidak mengganggu mereka. Kejadian malam itu dihotel membuatnya geram, karena ia merasa takut jika Sandra membalas perasaan Alvin.

Arnold menuruti kemauan sang ibu, untuk kembali ke Jakarta dan berjanji akan segera membawa Sandra menemui orang tuanya.

Namun, setibanya ia dirumah, justru dikagetkan oleh kehadiran Siska yang sudah berada di ruang tamu dan sedang berbincang dengan ibunya.

Jelas sekali diwajahnya, ia tidak begitu menyukai kehadiran wanita itu.

"Sayang... Akhirnya kamu pulang juga, ke mari nak, duduk disini", Mommy menepuk sofa disebelahnya, meminta Arnold duduk.

Dengan rasa malas, Arnold duduk disana. Tanpa memandang apalagi menegur Siska yang ada dihadapannya, Arnold bersikap dingin sambil melepas jaket yang ia kenakan.

"Mommy ambilin teh manis buat kamu ya", lalu Mommy beranjak menuju dapur sebelum Arnold sempat memprotes kepergian ibunya.

Dengan perasaan kesal Arnold memandang kearah Siska, "Sorry, aku capek mau istirahat".

"Tunggu sebentar bisa kan? Aku cuma mau bicarain sesuatu", Siska menghela nafasnya.

"Ckk, aku malas bicara sama kamu".

"Sebentar saja, mungkin apa yang aku sampaikan ini adalah sesuatu yang selama ini kamu nantikan", kata Siska sambil menahan nafasnya.

Arnold melirik Siska tajam, "maksud kamu?"

"Aku sudah minta sama orang tuaku, untuk memutuskan perjodohan ini, aku mundur. Bukan karena aku merasa kalah, tapi aku merasa takut mengecewakan orang tuaku, kalau perjodohan ini tetap dilanjutkan, aku takut justru tidak bisa membahagiakan mereka".

Arnold terkejut dengan apa yang diucapkan Siska, ia tak percaya. Selama ini, Siska lah yang paling ingin bertahan dengan perjodohan mereka. Tapi sekarang justru ia yang memilih mundur.

"Seharusnya kamu melakukan ini dari dulu", ucap Arnold tajam namun tak urung juga senang, karena kini akhirnya ia bebas menentukan siapa wanita yang akan dinikahinya.

"Kamu bebas, kamu bisa memilih dengan wanita manapun yang kamu cintai, namun 1 pesanku, jika kamu ingin bersama Sandra, tolong jangan kamu sakiti dia, seperti kamu yang sudah menyakiti perasaan aku".

Arnold membuang muka nya dengan malas, ia tak perlu mendengar ucapan Siska yang terkesan mengguruinya.

"Aku pamit, sampaikan salamku pada tante", lalu Siska pergi, menahan isak tangis namun begitu lega, karena ia sudah tak memiliki beban untuk selalu bertahan dengan Arnold yang selalu berbuat acuh pada dirinya.

🌺🌺🌺

Sandra dan Alvin sudah berada dibandara Soeta sedang berjalan kearah luar untuk mencari taxi yang akan membawa mereka kembali kerumah mereka masing-masing.

"Aku antar kamu sekalian ya, San"

"Ga perlu, Vin. Lagian juga kita ga searah"

"Kata siapa? Kamu mau kearah kantor kan? Aku pun sama".

"Kamu ngapain kekantor sore-sore gini, langsung masuk kerja Vin?"

Sandra yang terlihat polos dimata Alvin begitu menggemaskan. Alvin hanya tersenyum, "Pokoknya aku ga terima bantahan, kita pulang bareng".

Sandra diam saja, karena percuma menolak Alvin yang memang suka memaksa.

Diperjalanan pulang pun, tak ada suara dari mereka berdua. Sandra sedang asik berselancar di dunia maya dengan ponselnya, sedang Alvin sibuk menelpon salah satu manager artis yang akan dipromosikan di label musik miliknya.

"Kamu ga pusing Vin, ngurus dua perusahaan seperti yang akan kamu jalanin sekarang?" tanya Sandra ketika Alvin menutup pembicaraannya di ponselnya.

"Label musik adalah cita-citaku sejak dulu, San. Tapi Poetra Grup adalah masa depan aku. Ada alasan khusus yang bikin aku akhirnya mau mengambil alih pekerjaan papi"

Sandra bisa mendengar keseriusan dalam nada suara Alvin. Ia memang sudah berubah, lebih dewasa dan bertanggung jawab.

"Kamu berhasil mengejar cita-cita kamu menjadi seorang pengacara kan, pun sama dengan aku. Aku berhasil menjadi produser musik. Rasanya sangat menyenangkan bekerja dengan passion yang kita miliki. Namun dibalik itu, ada tanggung jawab yang harus aku penuhi".

Alvin melirik Sandra sekilas, "Makasih ya, kamu sudah ajarin aku bagaimana tanggung jawab itu harus dijalankan".

"Aku? Kok bisa?"

Alvin hanya tersenyum dan membelai lembut puncak kepala Sandra, "Kamu banyak ajarin aku arti kehidupan, San".

Rasanya begitu hangat menjalar dalam tubuh Sandra, kala Alvin mengelus rambutnya.

"Tetap ada disamping aku ya, San. Jangan pernah menjauh lagi dari aku"

Tetap disampingnya. Hanya sekedar untuk jadi teman dekat sajakah? 

Tidak bisa lebih kah perasaan Alvin padanya? Satu sisi perasaannya menghangat, tapi disisi lain ia merasa ada yang hilang. Alvin tak mencintainya lagi. Memangnya kapan Alvin pernah menyatakan cinta padanya.

"San, lo salah paham, gue cin..."

"Stop Vin, jangan diterusin, jangan lo bohongin hati lo dan gue lagi. Selamat akhirnya cita-cita lo tercapai kan".

Dering suara di ponselnya menyadarkan Sandra dari lamunannya.

Arnold's calling

Sandra tak tahu harus menjawab apa kala laki-laki itu semakin intens ingin mendapatkan perhatiannya darinya.

Kadang Sandra merasa jengah dan terganggu. Namun Arnold selalu pintar berkilah dan menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuknya menghubungi Sandra.

Kalau saja bukan karena pekerjaan, Sandra lebih baik menghilang saja.

"Kok ga kamu angkat telponnya?"

"Hah, apa? Oh ini ga apa, nanti juga dia telpon lagi".

"Ga mau obrolan kalian terdengar sama aku ya?" ucap Alvin datar.

"Bukan begitu".

"Kalian punya hubungan khusus kah?"

Sandra menggeleng, "Arnold itu sudah dijodohkan sama Siska".

"Tapi sepertinya dia punya rasanya sama kamu".

Kalau itu sih Sandra sudah tahu. Cuma ia hanya berusaha untuk pura-pura tidak tahu.

Lalu, dering di ponsel Sandra kembali berbunyi, lagi-lagi menampilkan nama si penelpon yang Sandra tak inginkan saat ini.

"Angkatlah teleponnya", Alvin berbicara datar pada Sandra.

Dengan ragu, akhirnya Sandra memencet tombol hijau dan menahan nafasnya saat ia mulai bersuara.

Alvin yang terlihat tenang disamping Sandra hanya memandang datar kearah depan, tanpa berusaha bersuara sama sekali, lagi-lagi Sandra merasa pilu, karena merasa cintanya kembali bertepuk sebelah tangan.

🌺🌺🌺

Main HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang