Haruskah aku hancur untuk ke sekian kali lagi?? Kenapa Reyhan? Kenapa?..arghh..!!
Aku mengetik nomor Nisa dan berniat untuk meminta pendapatnya. Namun nihil, ia tidak mengangkat telponku chatku pun tak dibalasnya.
Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, mencoba menenangkan pikiran. Namun bayangan itu berlalu lalang dalam pikiranku. Aku tak pernah menyangka, sekalipun tidak. Bagaimana bisa orang yang seharusnya menjadi tempatku berbagi cerita, panutanku bahkan surgaku. Meninggalkanku dan memilih pergi bersama laki paru baya yang notabenenya adalah orang tua dari temanku sendiri. Dimanakah dan kemanakah aku harus berbagi keluh kesah ini.
Aku begitu kecewa yang teramat dalam pada orang itu, ya dialah ibu.
Bahkan sejak saat itu, aku benci memanggilnya ibu. Aku kembali terhanyut dalam pikiranku, masa-masa ketika aku masih belum mengerti apa-apa, semua hanya bayang-bayang yang terlintas jelas dibenakku. Hingga waktu itu, waktu dimana aku kehilangan semuanya. Semua yang kumiliki pergi meninggalkanku. Apa ini arti hidup, bahkan kamu sendiri tidak bisa bergantung pada bayanganmu.Sungguh pelik, aku meremas jemariku menahan gejolak hati yang tersulut kemarahan. Nafasku terasa sesak dan ...Drrrrttt...drrrttt. Getar telpon membuatku mengalihkan pandangan, ternyata Reyhan menelponku. Kubiarkan saja telponnya tanpa membalas puluhan chatnya yang menampakan kekhawatiran padaku. Untuk kesekian kali ia menelponku, aku memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo"
"Ardhya, kamu baik-baik saja..?" tanyanya.
Suaranya bergetar sama sepertiku, dia juga seperti sedang menahan tangis.
"Ya"
"Dhya, maaf atas yang terjadi ta...."
"Maaf, aku ingin sendiri!!" Aku memotong begitu saja ucapannya.
"Dhya, aku juga tidak.. Tid..ak.."
"Tuuut tuuut..."
Aku sengaja mematikan secara sepihak telponnya, pikiran aku benar-benar kacau dan aku sudah tidak bisa menahan emosiku.
Papa, sedang pergi. Andai beliau disini, aku akan menceritakan masalahku padanya. Sepertinya, untuk saat ini aku harus belajar mengikhlaskan dan menerima apapun yang sudah Allah tetapkan untuk ku.Flashback on
"Ardhya.."
"Berhenti disana!!!" ucapku.
"Maaf atas apa yang kamu dengark..."
"Cukup!!! Terimakasih atas semuanya. Anda telah berhasil membuat saya membenci ANDA. Dan menjelaskan betapa buruknya kelakuan ANDA!!!"
Mataku tiba-tiba terbuka dan aku menatap jam ditanganku sudah menunjukan jam 21.30. Aku segera bangun dan menunaikan ibadah shalat Isya.
Setelah shalat, aku mencari beberapa bahan makanan untuk dimasak. Aku memasak seadanya dan kemudian melahap makanan dihadapanku.Drrrrttt..drrrtttt..
Aku menatap layar handphoneku, Reyhan menelpon dan aku mengangkatnya."Ya.."
"Besok, ada yang ingin aku sampaikan. Aku harap kamu mau mendengarkan, malam."
"Tuuutuut..."Dia kemudian memutuskan telponnya.
Aku kembali terhanyut dengan pikiranku. Berharap semuanya selesai dengan cepat entah bagaimana aku akan menjalaninya dan apa solusinya??
✍️Aku tengah duduk dibangku taman sekolah menunggu dia. Sudah setengah jam menunggu dia belum juga datang. Dia pun datang menghampiriku setelah hampir 1 jam menunggu. Kecanggungan diantara kami membuat kami bingung mau mulai bicara darimana.
"Ardhya, aku ingin bicara soal kemarin.."
"Silahkan.." jawabku sekenanya, karna aku tau aku begitu rapuh setelah ini.
"Ayahku akan menikah dengan ibumu beberapa bulan lagi..."
Kata-katanya sukses membuatku mematung sesaat. Tapi aku mencoba menguatkan diri sendiri.
"Biarkan semua yang memang harus pergi" ucapku.
"Apa ini semua mengakhiri pertemanan kita?" tanyanya ragu.
"Menurutmu, apa aku bisa menerima ini?" jawabku sambil menatapnya mungkin aku terlihat tegar. Namun siapa tau, aku menangis sampai tak tidur semalaman. Dan memaksa diri untuk menghadapi pagi.
"Maaf.." lirihnya.
"Untuk apa minta maaf atas apa yang tidak kamu perbuat?" tanyaku. Dia mengangkat wajah ragu.
"Jadi?" tanyanya.
Aku tersenyum entah ini palsu atau bukan. Biarkanlah aku terlihat seperti orang yang keras terhadap diri. Namun, apa mau dikata? Aku tak punya cara lain selain untuk menghadapi setiap tantangan didepanku. Tak guna ada tangis, usai sudah segala keluh kesah. Sudah aku ratapi nasibku. Ini saatnya untuk bangkit, tetap tersenyum.
"Sudah, lupakan!" ucapku.
"Kamu? Kamu terima?"
"Tak gunalah meratapi nasib, semua sudah menjadi masa lalu. Kita harus menata masa depan" balasku.
"Kamu tidak dendamkah?" tanyanya lagi.
"Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik lagi."
Dia tersenyum. Tidak! Tepatnya kami tersenyum bersama. Untuk masa depan.
✍️
KAMU SEDANG MEMBACA
LETNAN DUA Ardhya
Conto" Ardhya Aisha, gadis biasa yang harus menjalani liku-liku hidup yang seakan tak berpihak padanya. Hingga suatu hari, segala kesedihan itu pun berganti dengan istana kebahagian dan mahkota harapan yang datang menghampiri. -Pejuang sejati tidak berj...