Apa senja masih sehangat waktu itu? (revisi)

82 7 0
                                    


Perpaduan warna oranye dan merah menghiasi senja untuk ke sekian kali.
Jauh diujung sana, mentari seolah-olah tenggelam kedasar laut. Meninggalkan jejak indah dilangit.
Sang jingga memancarkan parasnya, memeluk hangat semesta.

Begitu kaki tertancap di air, hangat sinar jingga menjalar ke tubuhku.
Meski mata tertutup, kombinasi senja tetap terasa.
Senyumnya seakan tak hilang, sore begitu identik dengan senjanya.
Segala sesuatu tentang sore dan senja selalu berkaitan.

Tentang senja, yang sempat terlupakan olehku kembali lagi bersama kenangan manis yang tak pernah terkikis walau ombak menghempas karang.

"Lihat itu!" suara yang membuatku menoleh.

Aku memutar mata mengalihkan pandangan ke arah telunjuknya.

"Indahkan?" aku mengangguk menyetujui sepenuhnya ucapannya.

Sudah lama tak melihat suasana senja di pantai membuatku sedikit lupa akan kehangatannya. Meski ia tak pernah lupa akan aku.

"Jarang kesini ya?" tanyanya, aku mengangguk mengiyakan.

"Tidak pernah lagi setelah bertahun-tahun" jawabku.

"Kenapa, apa ngak ada waktu untuk mampir?" ujarnya

Aku menggelengkan kepala, menatap jauh ujung jembatan ke arah laut.

"Karna, ini adalah tempat dimana kita saling menguatkan hati memutuskan untuk menjadi pagar-pagar bangsa... Dan kamu memilih menjadi melati pagar bangsa" ujarnya membuatku terlempar jauh ke masa lalu.

Dimana kami masih menggunakan seragam sekolah mampir kesini menikmati senja dan saling tertawa, bercerita kisah-kisah dan bertekad untuk menggapai mimpi.
Dan ingin mengunjungi tempat ini lagi ketika kami sudah memakai loreng kebanggaan kami masing-masing.

"Aku hanya berpikir, apa senja masih sehangat dulu?" ucapku yang tidak mengalihkan pandanganku menatap laut.

"Masih, masih seperti dan sehangat dulu" jawabnya membuatku menoleh mendapati laki-laki dengan posisi kedua tangan disaku menggunakan kacamata gelap.

Aku mengangguk, berjalan mendekatinya,"sudah puas dengan senjanya?" Ia menoleh namun aku telah satu meter jauh darinya, "ayo pulang" ucapku lagi sambil menjauh dari senja.

                                 ✍️

Aku menatap sajian didepanku, sepiring sate kambing. Menggugah selera membuat ruang diperutku semakin lebar. Tanpa segan, aku melahap potongan daging kambing.
Beberapa menit kemudian, tandas sudah sepiring sate dan segelas air mineral.

Aku dan Reyhan melangkah menuju kasir. Reyhan membayar pesanan kami. Lalu kami berlalu menuju parkiran.

"Makasih, untuk traktirannya. Sangat berguna sekali" ucapku sembari menampakan senyum jahil andalanku.

"Sama-sama" balasnya singkat sambil mengenakan helm fullfacenya.

"Ayo naik" ucapnya lagi.

"Ini gratiskan?" tanyaku dengan senyum jahil yang belum sirna diwajahku.

Reyhan menatapku " naik sebelum saya berubah pikiran" ujarnya.

"Rey, aku baru sadar" ucapku, ia menoleh lagi.

"Kamu cocok juga jadi tukang ojek" ucapku nyengir ketika aku sudah mendarat di jok belakang.

Tanpa menunggu jawabannya,"jalan bang!" ucapku sedikit menepuk helmnya.

Reyhan geleng-geleng kepala saja sembari melajukan motornya dijalan raya. Tak lama, aku sudah sampai dirumahku.

"Makasih tumpangannya" ucapku.

"Bayarannya?" ucapnya sambil menggerakkan jarinya menagih.

Aku memukul pelan lengannya dengan helm.

"Situ kan udah ada gaji, masih minta ongkos ke mahasiswi" ucapku sedikit penekanan.

"Ralat itu, mantan mahasiswi" ucapnya.

"Masuk yuk, papa dirumah" ujarku.

Dia mengangguk segera turun dari motornya.

"Assalamualaikum pa" ucapku sambil menyalami papa.

"Assalamualaikum om" ucap Reyhan menyapa.

"Waalaikumsalam, darimana kalian?" tanya papa.

"Dari pantai om, tadi ngajak Ardhya ke pantai lihat sunset"

"Oo iya, ngak dinas kamu Rey?" tanya papa lagi.

"Dinas om, tadi pulang cepat"

Aku sedikit menguping obrolan papa dengan Reyhan, aku mendengar samar-samar karna aku sedang santai dikamarku dan papa diteras bersama Reyhan.

Aku menatap jam dinding menunjukan pukul 19:00, suara diteras sudah sirna. Aku keluar mendapati papa sudah duduk didepan tv.

"Reyhan udah balik pa?" tanyaku.

"Sudah, papa kira kamu tidur. Jadi Reyhan pamitan sama papa saja."

"Iya pah" jawabku.

"Besok kemana?" tanya papa.

"Belum tau, emang kenapa pa?"

"Ngak, biasanya kan tiap hari keluar kamu" ucap papa yang terdengar sedikit menyindir.

"Ngak kemana-kemana kok pa"

Papa mengangguk saja, aku kembali kekamar menghambur memeluk guling. Aku menatap layar ponselku, tak berdering sedari tadi, layaknya toko sepi pengunjung.

Aku mengambilnya tapi hanya memutar-mutar hingga sebuah chat masuk ke ponselku. Aku menatap layar ponsel, aku mengernyitkan dahi melihat chatting dari nomor tak dikenal.

08xxxxxxxxxx
Send the picture.

Aku membuka gambar yang ternyata fotoku masih memakai seragam SMK yang tengah tertawa. Berlanjut lagi dengan foto kami bersama di pantai dengan background kapal motor kecil. 

Kukirim emoticon dengan kata rindu, tak lama ia juga membalasnya.

08xxxxxxxxxx
Tadi jalan sama Reyhan ya?

Membuatku sedikit binggung pasalnya aku tidak memberitahu seseorang kecuali papa.

                                 " Ya,kenapa ya?"

08xxxxxxxxxx
Ngak, ngak apa-apa.

Aku me read saja dan membuka profilnya terpampang lah disana seorang laki-laki berbaju loreng dengan baret ungu kebanggaannya.
Dibawahnya, tertulis ArfanArfan.

                            "Lupa mau ajak kamu,
                              Fan.."  balasku.

ArfanArfan, begitu ku tulis nama kontaknya di ponselku.

ArfanArfan
Sudah biasa aku terlupakan.

                            "Hahaaaha, besok
                              Ku ajak"

ArfanArfan
Wkwkwkwk, okee siip.

Tak ku balas, cukup dibaca dan aku segera off. Karna memang aku akan istirahat mataku sudah redup se redup lampu tiga watt.

                                   ✍️

LETNAN DUA Ardhya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang