Amplop Hasil Perjuangan (revisi)

97 5 0
                                    

Ardhya  Pov

Isakan begitu membahana, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan tengah menjalar di sanubari. Semua orang merasakan, begitu jelas terlukis diwajah polos nan penuh harap.
Para siswa dan orang tua menanti  bersabar mendengarkan sepatah dua patah kata sambutan dari para guru. Hingga sampailah pada pembagian kertas berlipat yang entah membungkus tanggis atau tawa.

Dan ketika amplop putih itu berpindah tangan sampai kepada tangan yang dituju. Disaat itulah perasaan tidak karuan, kekhawatiran dan kecemasan turut larut menjadi satu.
Meski kabar lulus 100% itu sudah terdengar jauh hari, tetap saja perasaan itu ada. Sebuah suara nyaring begitu jelas terdengar dari pengeras suara, pemberitahuan yang membuat hati semakin tidak kuasa.

"Para orang tua dan siswa sekalian, bahwasanya tidak selalu kabar baik yang kita dengar, tapi saya harus menyampaikan kabar ini, walau mungkin banyak pertumpahan air mata.Saya mewakili para guru..

1 detik

2 detik

3 detik

Semua siswa terdiam, airmata sudah berada di pelupuk mata. Tua muda menanti kabar yang belum pasti, tapi cukup mempengaruhi pikiran dan hati.
Kabar apakah gerangan' yang membuat mereka berpikir 3 kali lebih cepat, berusaha untuk menepis segala keraguan.

Teek..teek... Suara mik yang diketuk makin membuat hati tak kuat lagi, airmata pun menetes membasahi pipi.

"Bahwa ...

Kalian semua, para siswa telah memberikan yang terbaik, Keputusan tetap ada pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Linangan airmata sudah menerobos pembatas, padahal informasi itu belum disampaikan utuh.

"Kalian semua LULUS" ucap guru B.Indonesia itu

Tanggis kembali tumpah, bulir-bulir air menghiasi wajah. Tua dan muda sama-sama merasakan, ada yang berpelukan, sujud syukur hingga sebuah senyum kembali muncul.

Hari ini, kami semua menanggis. Menanggis bahagia meski tersirat lelah diwajah yang hampir mengisyaratkan untuk menyerah.
Disaat itu, terlintas wajah-wajah yang membuat semangat kembali merekah,
Ada yang harus senang dengan keberhasilan kami meski perjuangan itu tak kalah menantang dari perjuangan menerjang bukit yang berliku dan berkelit.
Syukur teramat dalam kepada Sang Khalik, yang menciptakan bahagia setelah kata pelik.

Walau, perjuangan di masa sekolah sudah berakhir. Masih ada beban di pundak yang masih terukir.
Tanggis bahagia ini akan kami sambung kembali ketika tali toga sudah dipindahkan dari kiri ke kanan atau pundak sudah berhias sebuah tanda yang tersemat melalui acara sakral pelantikan yang semuanya perlu pembuktian dan tanggung jawab.

Usai sudah perjuangan tiga tahun kami di sekolah yang penuh suka duka. Masih terbayang wajah polos ketika pertama kali melangkahkan kaki memasuki gerbang, awal perkenalan sebagai siswa satu tingkat diatas SMP. Selesai semua cerita  dimasa-dimasa SMK, tinggal kenangan yang akan kami rakit bersama cerita indah perjuangan selanjutnya.

                                   ✍️

Aku menatap lurus wajah ku didepan cermin, memandang dari atas hingga bawah.
Sebuah ketukan terdengar, aku melangkahkan kaki memutar knop pintu kamarku.

"Makan dulu Ardhya, papa sudah masak soto kesukaanmu" ucap Papa

"Iya pa" ucapku sembari melangkah mengikuti langkah kaki papa.

Aroma soto langsung tercium,membuat perutku semakin ingin melahapnya.

"Tumben papa bikinin soto untuk dhya?" tanyaku sambil menuangkan kuah ke mangkuk.

"Iyalah, ini hadiah untuk anak papa, sudah Lulus SMK"

"Hehee.makasih papa"

"Ya sudah makan sotonya, spesial untuk kesayangan papa"

Aku menampilkan senyum lebar dan deretan gigi putihku.

Selesai makan, aku menonton tv bersama papa. Sembari menaruh kepalaku dibahu papa,

"Pa"

"Apa nak?

"Mungkin Arfan sudah daftar pa" ucapku.

"Iya,"

"Pa" panggilku lagi

"Apa ada yang mau kamu utarakan nak?" ucap papa lagi,memang hari ini papa mengistimewakan aku. Aku suka papa begini, karna kadang aku juga butuh situasi seperti ini.

"Pa, kalau Ardhya daftar juga papa izinin ngak?" tanyaku

"Maksudnya kamu mau daftar seperti Arfan itu?" tanya papa balik.

"Iya,Pa. Ardhya juga pengen seperti Arfan, boleh ngak pa?" tanyaku lagi.

"Papa tidak setuju!! "

Seperti harapan yang dihempaskan itulah yang aku rasa. Panas menjalar keseluruh tubuhku, mata ku sudah berair tak kuasa menahan tanggis.

"Tapi pa, cita-cita Ardhya kan baik. Ardhya juga pengen bikin bangga papa dengan cita-cita Ardhya sendiri" jelasku pada papa.

"Papa tetap tidak setuju Ardhya!! Kamu tau resikonya apa?!" ucap papa sembari berdiri dari duduknya. 

"Pa, Ardhya mau jadi i...."

"Papa TIDAK SETUJU, paham kamu!!"

Aku menekan dadaku yang terasa sakit, sesak tidak dapat aku tahan.
Sakit yang ku rasa mengkoyak-koyak harapan dan impian yang telah ku tanam sejak dua tahun lalu.
Isak memenuhi ruangan kamarku, hingga dini hari mataku tidak bisa terpejam. Sakit di dadaku masih terasa lebih menusuk begitu dalam hingga aku tak bisa mengontrol diriku. 

Aku memutuskan untuk menghadap Sang Khalik, ketika tak ada lagi tempat untuk menyandar masih ada lantai untuk bersujud. Sepenggal kata yang ku jadikan prinsip.
Didalam sujud, ku tumpahkan segala keluh kesah, segala sakit dan melepaskan sesak.
Sekujur tubuhku kembali bangkit setelah diberi kekuatan oleh ALLAH SWT. Ku pasrahkan segala jalanku padaNYA, masa depanku, namun masih terselip harapan untuk cita-citaku.

                                  ✍️

LETNAN DUA Ardhya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang