Kehangatan Jingga (revisi)

268 8 2
                                    

Awan yang telah menyingkir tergantikan jingga yang menghiasi langit.

Hangatnya yang seakan memeluk siapa saja yang mengaguminya.

Sinarnya bahkan mampu menembus pasir-pasir membuatnya berkilau, dan hangatnya memanjakan kakiku.

Aku yang melihatnya dari balik kelopak mata, sinarnya juga berusaha menembus penglihatanku.

Sayangnya aku tak mampu dan tetap memilih menutupnya, tapi hatiku memaksa untuk membuka. 

Seakan ada dorongan yang membuka, ketika itu ada bayangan yang tak mampu ku lihat jelas berdiri tanpa memberiku kesempatan untuk menemukan ia.

"Ardhya.. Ar.. Hallooo..

Aku sadar ketika sudah ada tangan yang bergerak kekiri dan kekanan seakan berkata halo.

"Ehh iya yaa"

"Kenapa kamu?" ucap Reyhan yang mungkin sudah menangkap gerak-gerikku.

"Ehh..mmm.. Ngak sih ngak apa-apa"

"You get a have something with the place?"

"No, i have not" ucapku pada Andra.

Aku berkata demikian karna aku jarang sekali ke pantai seperti ini ketika berlibur. Bagaimana aku bisa memiliki kenangan ditempat seperti ini.

"Ya udah yok, aku kangen maen air nih"

"Kangen? Tiap hari di dermaga? Bilang kangen maen air! Emang dermaga ada dimana sih?" ucap Andra mengejek.

"Yaa dilaut lah, dipinggir sih ngak ditengah juga" ucap Arfan.

"Udah dilaut hidup lo masih kangen maen air?" tanya Defano.

"Yee, aku kan dinas mana bisa maen air!" ucap Nisa.

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat adegan menjelang klimaks didepanku.

"Ke sana yok, lelah lihat adegan ini terus!" ajak Reyhan sambil menyindir.

Aku mengikuti dan menyamakan langkah dengannya. Tiada suara kecuali suara kaki yang menapak.

"Kamu tau? Terkadang banyak yang berubah di dalam hidup bahkan bisa merubah segalanya. Tapi kita harus siap menghadapinya yang juga mungkin tidak kita harapkan di hidup kita. Namun itulah kenyataannya" ucap Reyhan yang menatapku.

Aku memalingkan wajahku menghadap laut.

"Iya, kamu benar. Dulu aku pernah, pernah meratapi hidup. Kenyataannya, aku pun tetap harus bangkit bahkan disaat aku tidak siap."

Pandangannya yang tidak beralih dariku. Aku berputar, menghadapnya. Pelan-pelan mengangkat wajahku untuk menatapnya.

"Bagiku mungkin tidak mudah, walaupun aku tidak pernah mengatakannya, aku bahagia melaluinya bersama kalian"

Aku menunduk, menahan sesak. Airmataku bahkan turun, turun tanpa bisa aku tahan. Sudah lama sekali untuk tidak menanggis, tapi inilah aku. Insan yang terkadang sangat lemah dibandingkan seekor semut.

Ia memanggilku, pelan. Pelan sekali hampir saja tidak terdengar terhalang suara ombak yang berlomba-lomba dengan suaranya.

Aku kembali mengangkat wajah meski tak sanggup menatapnya.

"Kamu tau? Keputusanku melerai pertengkaran dua siswi saat itu yang merubah kehidupanku hampir semuanya" ucapnya lirih disisi telingaku.

Meski telah bertahun-tahun mengenalnya, pertamakalinya bagiku merasakan getaran karna ucapannya.

"Sama, ketika aku dan Nisa memutuskan untuk menerima dan berteman dengan kalian. Aku merasa setidaknya aku punya tempat berbagi keluh kesah setelah kepada Penciptaku." ucapku.

Aku tetap menunduk mengatakannya, aku tidak melihat tapi aku merasakan ia mulai tersenyum. Senyum yang hangat sama seperti jingga diatas kami.

"Kita sama-sama saling menjaga dan mengingatkan bahwa masih ada jalan keluar yang lebih baik dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya."

Aku mengangguk, "aku bersyukur sekali dipertemukan dengan kalian dan terimakasih sudah ada untukku."
ucapku tulus.

"Sama-sama, tapi itu cara Yang Kuasa bukan?" tanyanya.

Aku mengangguk lagi dan ia tersenyum. 

"Mau kembali?" aku mengangguk.

Kami melangkah, langkah yang sama saling menguatkan, menjaga agar tetap seimbang meski menapak di jalanan yang tidak selalu datar.

Kami mendekat pada sekelompok manusia yang sangat bahagia bermain bola air hingga tak menyadari ada kami yang mengawasi.

Aku menoleh mendapati Reyhan yang menatapku juga. Aku tau maksudnya.

"Ardhya sama Reyhan kemana yaa? Pergi lama bener?" ucap Defano tanpa sadar aku dan Reyhan ada dibalik kerumunan orang-orang yang tak jauh dari mereka.

"Ngak tau, mereka kalau pergi berdua yaa lama" ungkap Andra.

"Emang kemana sih?" tanya Nisa.

"Serius amat apa ya? Sampai kita aja ngak tau" ucap Defano menimpali.

"Yaa ngak tahu saya" ucap Arfan setelah sadar banyak mata melihat ke arahnya.

Dorr..dorr..

Cipratan air membasahi wajah-wajah yang kebingungan. Aku dan Reyhan tertawa sambil bersembunyi lagi dikerumunan orang.

Ku intip dari balik kerumunan mereka berempat masih celingukan mencari-cari orang yang mengerjai mereka. Ditengah kebingungan yang belum menyingkir di wajah mereka. Kami kembali beraksi, aku dan Reyhan menembaki mereka dengan pistol air.

"Iam finish" ucapku setelah persedian air di pistol mainanku habis.

Reyhan masih terus menembaki mereka, mereka yang sudah kesal tetap belum menemukan siapa dalangnya.

Ketika aku sudah menaiki speedboot motor, aku melihat Rayhan yang berlari kencang ke arahku.
Dibelakangnya, sekelompok orang mengejar.

Tepat, lima belas detik kemudian Rayhan sudah anteng di jok belakang kendaraan air ku ini.

Ada empat wajah yang kesal tengah menatap kami dari ujung pantai. Aku dan Rayhan hanya tersenyum dan menikmati waktu kami.

"Dari mana kamu belajar bawa ini?" tanya Rayhan setengah berteriak mengalahkan suara ombak.

"Aku anak laut, setiap hari dilaut" ucapku juga berteriak.

"Salah, kamu anak bapakmu." ucapnya lagi sembari tertawa.

"Iya tetap anak papa ku kok, maksudnya aku tiap hari dilaut, kamu tau itu"

Ia tersenyum, aku tersenyum. Senja kembali dengan kisahnya yang berbeda namun dengan kehangatan yang sama. 

                           #SELESAI#

Aku dan kami yang dipertemukan dalam ketidaksengajaan. Layaknya es yang mencair setelah membeku.

Kami, hanya kisah. Kisah yang menyatu usai dipertemukan.
Sepotong cerita, yang tiada apa-apa. Hanya cerita kami, kami yang datang dari sisi yang berbeda. Menyatu dan hangat dalam balutan bingkai sahabat.

                                   ✍️

LETNAN DUA Ardhya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang