05. Dramatis

1.9K 301 77
                                    


Ibu adalah seorang pekerja keras. Setelah Ayah meninggalkan kami, Ibu membesarkanku dan Kak Minsuk seorang diri hingga kami sebesar ini. Ibu menikah di saat umurnya masih muda, Ayah pun meninggalkannya begitu cepat saat usiaku bahkan baru beranjak dua bulan. Ibu sudah terlalu banyak mengalami masa sulit selama ini.

Sudah beberapa kali Kak Minsuk menyuruh Ibu untuk berhenti dari pekerjaannya. Kakak sudah sangat mapan dengan kehidupannya, aku pun sudah bekerja. Tidak ada lagi alasan untuk Ibu masih menyusahkan dirinya sendiri. Tapi, Ibu bukanlah wanita gampangan yang serta-merta mau menyia-nyiakan pekerjaannya. Ibu sangat sulit dipaksa untuk berhenti dari pekerjaannya. Ibu bilang sebentar lagi dia akan pensiun, jadi Ibu menyuruh kami bersabar karena Ibu akan berhenti setelah ia dinyatakan pensiun.

Ibuku adalah seorang penyiar berita nasional di sore hari. Terkadang, Ibu menjadi penyiar radio nasional di malam hari. Ibu juga seringkali menjadi pembawa acara di beberapa kesempatan sehingga seringkali pula Ibu mendapatkan jam lemburnya dan tidak pulang ke rumah hingga esok hari. Kak Minsuk sudah jarang sekali pulang ke rumah karena dia telah memiliki apartemen sendiri di dekat tempat kerjanya. Jika Ibu tak pulang dari kantornya, maka rumah akan terlihat sepi karena aku sendiri saja. Itulah mengapa Ibu menjadi khawatir meninggalkanku sendiri dan kerapkali menyuruh Jongin untuk menemani.

"Mengapa harus menelpon Chanyeol? Biasanya tak begitu!" Jongin berseru menahanku yang akan menaiki anak tangga rumah.

Kim Jongin benar. Lagi pula ini bukanlah kejadian sekali dua kali. Jongin bahkan bisa dengan sesuka hatinya tinggal di setiap sudut rumahku. Jikalau di hari hujan seperti malam ini, aku akan menyuruh Jongin ikut tidur bersama di kamarku karena aku tak nyaman dengan gemuruh guntur hari hujan.

"Berhenti bersikap aneh. Aku baik-baik saja, dan kita akan baik-baik saja."

"Aku yang tak baik, Jong!" Aku yang menghardik.

Cukup lama Jongin tak memberikan responnya, dia hanya menatap lurus pada mataku. Barangkali berusaha mencari tahu apa yang kurasakan saat ini.

Sudah kukatakan, kendati calaknya diriku dengan jurus-jurus karate itu, tetap saja, aku hanya lelaki lemah ketika berurusan dengan masalah hati. Aku bukanlah Kim Jongin yang barangkali bisa dengan mudah mengabaikan dan menyia-nyiakan perasaan hati.

"Mandilah dan berganti dengan baju hangat," ucapnya lantas melangkah menuju dapur rumah kami.

Kim Jongin selalu begitu. Kendati dengan keadaan hati yang tidak cukup baik, dia tak pernah mengabaikanku. Dia selalu saja mendahulukan keinginanku daripada perasaannya. Itulah mengapa aku terkadang begitu menyukainya.

Meskipun sudah menyerah untuk memilikinya saat masa remaja dahulu, kendati sudah menemukan orang lain sebagai penggantinya, dia tetap saja tak bisa meninggalkan hatiku. Itulah mengapa mudah sekali untukku goyah ketika dia mengatakan perasaannya. Itulah mengapa sulit untuk sekedar mengabaikan apa yang sudah terjadi pada kami akhir-akhir ini.

Begitu sampai di dalam kamarku, aku tak langsung membersihkan diri, melainkan merogoh ponselku untuk menelepon sang kekasih. Barangkali ia sedang berada di kantornya karena dia mengatakan akan pulang ke rumah terlambat hari ini, atau mungkin juga sedang dalam perjalanan pulangnya.

"Halo, Kyung," jawabnya kala menerima telepon.

"Sedang apa?" tanyaku sembari melepas jas kerjaku.

"Sedang dalam perjalanan pulang kerja. Aku sedang menyetir," ucapnya.

"Eum. Berhati-hatilah."

"Apa ada yang kau inginkan?"

"Eum," jawabku dan menghempas tubuh di ranjang.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang