11. Nasihat

1.7K 261 34
                                    



Aku kacau. Sekeras apa pun untuk bersikap seperti hari biasa, tetap saja, aku sudah luluh lantak. Pekerjaan hari ini terbengkalai; aku membebani Kak Minho, teman satu divisiku, untuk menyelesaikan semua pekerjaan.

Kepalaku terasa penuh. Rasa khawatir terhadap Kim Jongin begitu tinggi, pula rasa penasaranku akan penyakitnya pun terus memenuhi otakku.

Belum lagi kejadian tadi malam, aku tak tahu bagaimana solusi akan keadaan menyimpang kami. Dan juga, kemarahan Chanyeol tadi pagi, ini yang paling membuat hidupku hancur luluh lantak seharian. Rasa bersalahku sudah menumpuk pada Chanyeol sejak Jongin mengakui cinta pertamanya. Seharusnya aku tak goyah sehingga kehancuran seperti ini tak menghampiri.

Aku tersentak kala memasuki kamarku sepulang kerja. Biasanya Ibu sudah tak ada di rumah ketika aku pulang, tapi hari ini Ibu melipat hasil benatunya di dalam kamarku. Ini hal tidak biasa, karena Ibu biasanya melipat pakaian-pakaian itu di ruang televisi keluarga kami.

"Ibu tak pergi kerja?" Aku bertanya sembari meletakkan tasku di nakas ranjang.

Ada tas yang tertinggal di rumah Jongin di sisi ranjangku. Sepertinya Jongin sudah mengembalikannya.

Segara kuraih tas itu dan memeriksa ponselku di dalamnya. Benar saja, sudah tiga puluh enam kali Chanyeol menelepon sejak semalam, pesan yang ia kirimkan pun tidak sedikit. Beberapa juga adalah telepon Ibu tadi pagi.

"Jongin mengantar tas itu setelah kau pergi dengan Chanyeol tadi pagi." Ibu berkomentar, tidak menatap karena dia masih terus melipat pakaian-pakaian itu.

"Jadi? Kenapa Ibu tak kerja hari ini?" Aku bertanya lagi, sembari duduk di sisi ranjang membantu Ibu melipat pakaian.

"Ibu meminta Suri menggantikan siaran petang ini. Ibu akan pergi untuk siaran radio nanti malam," jawab Ibu. Im Suri adalah rekan Ibu di kantornya.

Kami sudah selesai melipat pakaian, tapi Ibu belum juga beranjak dari ranjangku untuk sekedar merapikan hasil lipatannya. Ibu malah terus menatap wajahku dengan intens.

Aku mendesah resah. "Jika ada yang ingin Ibu katakan, maka katakanlah. Jangan menatapku seperti itu, Ibu membuatku menjadi tak nyaman!" ucapku.

Aku tahu ada yang salah. Aku juga tahu apa yang akan Ibu bahas denganku sore ini. Sebenarnya aku ingin menghindar karena Ibu pasti tak akan mengatakannya jika aku terus menghindar. Akan tetapi, tatapan Ibu benar-benar membuatku menjadi tidak nyaman dan memaksaku untuk bicara lebih dulu.

Ibu menghela napas sebelum memulai ucapannya. "Dulu, ketika masih muda. Ibu memiliki dua teman lelaki yang sangat dekat."

Aku tahu cerita ini. Ibu bahkan tidak pernah bosan menceritakannya padaku meski ia terus mengulang ceritanya. Aku juga tahu siapa dua lelaki teman dekat yang Ibu maksud karena sampai sekarang pun mereka terus hadir dalam hidup kami.

"Lelaki itu adalah—"

"Ayah dan Paman Yohan, Ibu bahkan selalu menceritakan ini." Aku memotong ucapan Ibu.

Sebenarnya aku mulai bosan dengan cerita yang sama yang selalu Ibu ceritakan. Sama seperti sebelumnya, Ibu akan bercerita bahwa lelaki yang ia kencani adalah Paman Jo Yohan, Ibu bahkan tidak memiliki perasaan apa pun dengan Ayah kami meskipun mereka sangat dekat.

Lantas, lama kelamaan Ibu tersadar jika Ayahlah yang selalu ada ketika ia membutuhkan, bahkan ketika Ibu dalam keadaan sedih. Itulah mengapa pada akhirnya Ibu memilih Ayah daripada Paman Yohan.

Sampai sekarang pun tetap begitu, meski Ayah sudah lama pergi dan meski Paman Yohan kerap kali mendatangi untuk mengajak Ibu menikah dengannya, tetap saja Ibu tak pernah bisa menerima lagi perasaan Paman Yohan.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang