Surai di dekat dahinya berayun selaras dengan angin malam yang berhembus. Aku baru menyadarinya, Jongin mewarnai hitam berkilap rambut kepalanya itu. Kemarin pun hitam, hanya saja warna keemasan mendominasi. Meskipun sedikit memanjang, aku suka surai Jongin yang sekarang.
Sungwoon memang pintar dalam masalah berbisnis dan tata letak tempat usahanya, padahal saat sekolah menengah dia adalah siswa yang payah sekali.
Namun, ide membuka restoran di dekat Jembatan Pelangi Banpo adalah ide yang jenius. Setelah lelah menikmati indahnya Jembatan Banpo, pengunjung bisa datang menyantap masakan andalan restoran Ha Sungwoon. Atau, setelah berkunjung ke restorannya, pengunjung bisa meluangkan waktu sejenak untuk melihat-lihat cahaya pelangi indah dari Jembatan Banpo di seberang restorannya, seperti aku dan Jongin saat ini.
Jongin menolak untuk segera pulang ketika acara temu kembali selesai di restoran Sungwoon. Dia mengajak duduk di taman sungai Han di dekat Jembatan Banpo untuk menikmati malam temaram yang indah.
Sudah lima belas menit kami di sini. Jongin masih menolak menciptakan suara, dia hanya sesekali tersenyum melihat indah warna-warni air mancur di sisi-sisi Jembatan Banpo, juga menertawai pasangan-pasangan lain di dekat kami.
Sedang diriku, bukan tak ada alasan untuk tak memulai percakapan. Hati semakin gundah, tangan bahkan bergetar hebat karena kegugupan. Kalimat pendek yang ia bisikkan dari kejauhan setelah permainan piano tadi, memorak-porandakan pikiran. Padahal menginap di rumah Kakak adalah dengan upaya mendapat solusi yang cerah, tetapi semakin jauh, hidupku semakin tak menentu. Pilihan yang Kakak dan Ibu tuntut dari hatiku, benar-benar tak tercipta sampai saat ini.
Jika mengikuti pikiran yang jahat, sesungguhnya pilihan sangat jelas terlihat di depan mata. Kekurangan Jongin bisa menjadi alasan yang kuat untukku bertahan pada Park Chanyeol. Sialnya, perasaan hati tetap berkata lain. Benar kata orang di luar sana, cinta itu buta. Aku yang memiliki penglihatan jeli sekalipun menjadi serta-merta buta oleh rasa cinta.
"Tanganmu bergetar." Jongin membuka jas hitamnya, lalu mengenakan itu untukku. "Apa dingin?" tanyanya.
Tubuh sudah memanas sejak bisikan singkatnya setelah permainan piano tadi, ditambah lagi daiquiri pemberian Dokter Jung yang kunikmati, tidak ada alasan tubuh ini kedinginan. Satu-satunya jawaban yang tepat adalah ini bergetar lantaran rasa gugup yang menyelimuti.
Aku menggenggam tanganku yang bergetar, lantas mengerling memandangi apa saja asalkan bukan Kim Jongin di sampingku. "Berhentilah membuatku goyah, Jong." Bibir yang berisyarat cinta di restoran Sungwoon dan pula perilakunya saat ini benar-benar mengacaukanku.
Dia hanya tersenyum, menyandarkan bahu pada punggung kursi kayu taman yang kami duduki. Manik matanya menatap temaram langit yang hanya bercahaya oleh lampu-lampu pelangi di Jembatan Banpo. "Setelah dipikir lagi, tak ada gunanya kau goyah, Soo." Dia berucap tanpa menatap wajahku.
"Malam itu memang salahku, akan tetapi sudah kukatakan, aku tak bisa membuatmu bahagia. Bahkan jika kau dan aku saling menginginkan, selanjutnya kau yang akan menderita."
"Lantas? Ada apa dengan I love you tadi? Kau menggodaku?" Aku melirik nyalang.
Dia malah terkekeh lagi. "Aku menginginkannya. Meskipun hanya sekali saja selama hidupku, aku ingin mengatakan itu."
Obsidian mata perlahan membulat. Padahal dia mengatakannya dengan kekeh santai, semacam ini adalah hal sepele yang tak perlu perasaan hati berlebihan untuk menanggapinya. Namun, tidak bisa begitu saja bagiku. Ucapan santai meskipun hanya sekali selama hidupku itu mengusik perasaanku jauh lebih dalam. Dia masih saja bisa mengatakan padaku agar tidak goyah, tetapi yang ia perbuat justru membuatku rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love Bukan Do Kyungsoo jika ia mempercayai frasa cinta pertama. Baginya, cinta pertama akan sirna begitu saja seiring waktu berjalan. Namun, matra cinta pertama berulah manakala Kim Jongin, teman masa kecil Kyungsoo...