12. Reuni

1.6K 284 37
                                    



"Hai?" Aku menyapa.

Jongin mengeryit dahi memandangi, kemudian menyisir sekitarku.

"Dan ... begitulah dia selama tiga hari ini." Kakak yang berkomentar, bibirnya berdecak mengejek selaras dengan tangan yang berkecak pinggang.

"Aku sudah menghubungi Park Chanyeol, tampaknya lelaki itu sibuk sekali sampai-sampai menelantarkan sang kekasih. Ponselnya mati. Jadi kuserahkan padamu. Kuharap kau berhasil membujuknya untuk segera pergi sebelum dia benar-benar menghancurkan rumahku." Kulihat Kak Minsuk menepuk bahu Jongin sebelum kemudian ia pergi meninggalkan rumah apartemennya. Barangkali Kakak punya jadwal.

"Hei, apa yang kaulakukan?" Dahi Jongin masih berkerut. Dia bahkan menelengkan kepala mencoba memperhatikanku. "Lehermu bisa patah," ucapnya kemudian dan mulai memunguti bungkusan-bungkusan camilan yang berserakan di sekitar ruang tamu Kakak. Dia berdecak mengumpati remah-remah roti yang tak terhitung jumlahnya.

"Ini posisi nyaman. Sudah lama tidak kulakukan, sejak keluar dari akademi karate."

"Posisi nyaman? Berjungkir balik kepala di bawah dan kaki di atas?" Jongin berkecak pinggang mengomentari posisi headstand-ku.

Memang sudah lama sekali tak kulakukan. Dulu, saat masih berada di sekolah menengah, bahkan ketika warna sabuk karateku belum tergolong tinggi, aku kerap kali melakukan posisi ini. Rumus-rumusan kalkulus akan lebih mudah terserap di otakku kala berada di posisi headstand. Senyawa-senyawa kimia pun tak akan terlupakan jika dihafal dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Tatkala suasana hati sedang gundah, posisi seperti ini sangat membantu.

Dengan lompatan kecil aku berdiri tegap, mengangguk memberi respon untuk Jongin sembari merebahkan tubuhku di atas sofa yang berhasil dibersihkan olehnya.

"Kau, jika terus begini, kapan akan dewasa? Setidaknya bersihkan tempatmu setelah selesai makan!" Jongin mengomeli, persis sama dengan Ibu ketika memarahi kelakuanku. Dia juga mengambil vacuum cleaner milik Kakak, bermaksud membersihkan sisa-sisa kelakuanku selama tinggal di rumah kakakku.

Jangan salahkan aku. Hati yang gundah yang membuatku menjadi pemalas. Hal-hal seperti membersihkan ruangan tiba-tiba menjadi sesuatu yang membuang-buang waktu saja.

Setelah membersihkan ruang tamu Kakak, Jongin menuju dapur dengan membawa kantong plastik besar yang ia bawa-bawa tadi. Aku mengekori.

Aku lantas duduk di konter dapur. "Kau mau buat apa?" tanyaku padanya yang sedang membongkar kantong bawaannya.

"Aku sudah membuat lasagna dan pasta, kesukaanmu." Aku berbinar kala Jongin memasukkan talam kecil itu ke dalam microwave oven milik Kak Minsuk. Selain sup rumput laut, lasagna buatan Jongin adalah kesukaanku. Padahal resepnya sederhana tapi benar-benar mengalahkan lasagna kesukaan di kedai Pizza Hut.

"Jadi?" Jongin bertanya, sembari menaburkan bubuk susu kopi kacang hazel ke dalam gelas kami.

Sore yang indah dengan warna langit jingga di balik jendela rumah Kakak, ditemani segelas Hazelnut Latte dan sepiring lasagna buatan Jongin. Sungguh, tidak ada yang lebih nikmat dari keadaan seperti sekarang ini. Akan tetapi, aku tak mengerti kata jadi dari pertanyaan Jongin tadi.

Aku mengernyit. Jongin tersenyum dan menyodorkan segelas susu kopi kacang hazel mendekatiku. "Apa ini pelarian?" Dia menambah pertanyaannya.

Aku paham maksudnya. Aku pun tahu, ini buruk. Aku tak bisa mungkir jika ini adalah kesalahan besar. Pikiranku jarang sekali kacau dan ketika mereka kacau, maka semua menjadi terlantar dan pelampiasan yang terbaik adalah melarikan diri.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang