First Love

10. Gila

Cicit burung menyapa, sinar matahari pun sudah menyusup masuk lewat sela-sela jendela kamar.

Aku tahu hari sudah pagi, akan tetapi tubuh enggan sekali untuk tersadar dari lelap, bahkan kedua mata sangat malas untuk sekedar mengintip dan menyambut pagi yang baru. Tak tahu apa alasannya, tubuh mungilku terasa remuk dan begitu letih.

Aku menggeliat kemudian, menarik kembali selimut yang lolos dari tubuhku dan lantas menutupinya hingga ke kepala.

Musim kami sedang kacau. Terlebih, aku tak tahu sekarang ini masih saja musim dingin atau bunga sakura sudah bersemi di Yeouido, yang jelas rasa dingin terus menyeruak masuk ke dalam tubuhku. Selimut benar-benar tak membantu banyak.

Ah, barangkali aku melupakan penghangat ruangan kamarku semalam sehingga pagi hariku menjadi sangat dingin atau juga barangkali karena aku tak memakai baju ketika tidur. Jika dipikir-pikir ini pertama kalinya aku melupakan bajuku ketika pergi tidur. Ceroboh sekali.

Tunggu! Apa tadi? Melupakan bajuku?!

Sekejap saja aku terkesiap dan membuka mata, menyisir sudut kamar untuk menyadari keadaan. Mataku membulat kala melihat pemandangan malam penuh bintang di atas kepala,

Astaga! Ini bukan kamarku. Ini kamar Kim Jongin.

"Oh, sudah bangun?" Lelaki di ujung sana mengagetkanku.

"Hei Jong, apa yang terjadi?" tanyaku gelagap, menutupi dengan sigap tubuhku dengan selimut milik Jongin. "M—mau kau apa kan bajuku?" tanyaku bahkan terbata-bata kala Jongin mulai memunguti baju-baju kami yang berserakan di lantai.

"Ini kotor. Aku akan mencuci. Kau pakai saja bajuku. Aku sudah siapkan." Dia menunjuk baju tidur miliknya di pinggiran ranjang. Dia lantas tersenyum dan berjalan keluar dari dalam kamarnya meninggalkanku sendiri.

Sontak aku memegang kepala dengan kedua tangan lantas menelan ludah. Sekuat tenaga memikirkan apa yang terjadi pada kami tadi malam.

Jongin mengatakan untuk melakukan hal yang tak baik tadi malam. Setelah membuatku tak berdaya dengan ciumannya.

Dia lantas meminta, lalu melempar tubuhku di ranjangnya. Dia mencumbu dengan gila, sentuhannya terus mendominasi ke seluruh lekuk tubuhku.

"Oh, tidak! Kami melakukannya!"

Tak dapat berkata apa-apa, aku malah meremas kasar kulit kepalaku.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa aku tidur dengan Kim Jongin semalam? Apa sebenarnya yang ada di pikiranku? Padahal aku tidak mabuk sama sekali, kenapa aku menjadi tidak waras?" bibir mengoceh sendiri.

Dengan segera kubuka selimutku, lantas tergesa-gesa memakai baju tidur pemberian Jongin. Kemudian dengan terburu-buru pula aku mengejarnya menuju tempat pencuci pakaian.

Jongin bahkan sedang bersenandung ketika memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Wajah ceria begitu tampak di roman tampan itu.

"Kim, kau gila?!" Aku membentak.

"Seharusnya yang benar adalah kita gila." Dia tersenyum, dengan santai mengedik bahu.

Ingin sekali menyebutnya berengsek, tapi aku tak mampu. Bahkan untuk terkejut akan jawabannya, aku tak bisa. Lagi pula, Jongin benar seratus persen. Kami yang gila dan aku tak bisa menyalahkannya sebelah pihak.

Aku menelan ludah dan membasahi bibirku yang mulai kering. Kala panik menyerang, aku akan terlihat uring-uringan, memegangi kepala dengan kasar sambil berjalan rancu kebingungan. Pikiran benar-benar melayang tak tentu arah; mencari solusi akan kesalahan yang kubuat, namun di sisi lain menolak mentah-mentah penyimpangan yang kulakukan.