21. Cinta Sejati [END]

2.9K 322 204
                                        

Enam tahun kemudian.



Kusarankan untuk tidak terlalu membenci; karena jika kau terlalu membenci, maka hidupmu akan terjerumus begitu dalam pada hal-hal kebencian di dirimu.

Contoh saja aku, Do Kyungsoo yang membenci hal dramatis; sialnya, kisah hidupku menjadi terlalu dramatis untuk dinikmati.

Kisahku, membuat senyum merekah bahagia, pula membuat tangis pilu menyayat hati.

"Oi Jongin ssi, berhenti berlarian!" teriakku rendah sejurus langkah terburu-buru mengejar. Namun dia yang kukejar, tampak begitu bengal dan terus berlarian sesuka hati bersamaan dengan cekikik yang riang.

Ia tak seharusnya begitu di tempat sakral semacam ini. "Jongin, kubilang berhenti berlari!"

Aku berhasil menangkap tangannya. Mata lantas melotot tajam untuk berusaha menghardik dan memarahi. Akan tetapi, dia malah tertawa mengejek dan menarik lepas tangan dari genggamanku. Kembali, ia berlarian semakin kencang melarikan diri.

"Kim Jongin! Sudah kukatakan jangan berlari di pemakaman!"

Aku mengejar lantas berhasil menangkap kembali. Kali ini tak hanya tangannya. Kuangkat tubuh kecilnya untuk kurengkuh di dada.

"Papa! Turunkan aku!" Dia merengek, tubuh mungilnya menggeliat di gendonganku.

"Jongin! Dengarkan Papa! Kau tidak boleh berlarian di tempat semacam ini, kau pun tidak boleh berisik." Aku menghardik, dia tersungut kesal dan mengeluh. Namun, aku hanya tersenyum lantaran wajahnya begitu menggemaskan. Aku lantas mencium pipi mungilnya sebelum kemudian kembali melangkah.

Kami mendekati salah satu makam yang sudah biasa kami datangi. Aku meletakkan setangkai bunga gladiol putih di atas makam yang ditutupi rumput hijau. Kedua tangan mengatup sembari memanjatkan doa. Begitu juga dengan Kim Jongin kecilku, ikut memanjat doa.

"Ki ... m ... Jo ... ng ... in ...."

Lirih rendah itu terdengar dari bibir Jongin kecilku. Dia baru saja pandai membaca sepatah demi sepatah kata; mengeja nama adalah kegemarannya.

"Papa, namanya sama dengan namaku." Jongin kecil berbisik sama di telingaku.

"Eum sama. Dia adalah Daddy kita."

Kendati sudah berkali-kali kubawa Jongin menuju makam ini, baru hari ini kuberitahu ia kebenarannya.

"Daddy? Siapa?" Jongin kecil bertanya.

"Daddy adalah seseorang yang Papa cinta," jawabku dengan senyuman.

"Tapi, Papa bilang Papa mencintaiku."

"Eum. Papa mencintai Kim Jongin yang ini dan juga mencintai Kim Jongin yang itu. Kalian sama," ucapku sembari memberikan ciuman untuk Jongin kecilku.

Aku lantas menghela napas, teringat kembali pagi itu, enam tahun yang lalu. Aku masih belum bisa mempercayai jika itu benar-benar akan menjadi yang terakhir, seperti ucapannya.

Setelah kalimatnya yang mengatakan Kim Jongin adalah suamimu, setelah pergumulan panas kami di malam harinya. Kim Jongin-ku menutup mata dan mengembus napas terakhir setelah kembali krisis sel sabitnya oleh napas yang sesak.

Seharusnya aku tak terlalu lama bimbang, seharusnya aku dengan cepat mengucap cinta, sehingga kebahagiaan kami tidak terlalu cepat berlalu. Seharusnya aku bisa merasakan kehangatan Jongin lebih lama.

Namun, orang-orang mengatakan jika penyesalan datang di saat tak tepat, penyesalan datang di akhir waktu; lantas, penyesalanku datang di kala Kim Jongin tak dapat mengembus napasnya dan tak dapat membuka mata lagi.

Kim Jongin yang kucinta meninggalkanku untuk selama-lamanya.

"Papa, don't cry!" Rengek itu terdengar sendu dari bibir buah hatiku, menyadarkan aku dari ketermanguan.

Senyum merekah di bibir sembari telapak tangan mengusap mata. Aku lantas mendekap Jongin kecilku semakin erat.

Setelah kematian Kim Jongin, aku tetap mendaftarkan pernikahan kami. Meskipun aku tak bisa melahirkan anak kembar sesuai keinginan Jongin, aku mengadopsi seorang anak lelaki pula kudaftarkan sebagai anak kami, yang kuberi nama Kim Jongin. Anak kami inilah yang selama ini selalu menemaniku.

"Ayo beri salam untuk Daddy."

Jongin kecil lantas menundukkan kepalanya. "Hai Daddy, Papa bilang dia mencintaiku dan mencintaimu. Tetapi, aku tak mau kalah darimu. Aku akan membuat Papa lebih mencintaiku."

Aku terkekeh. Jongin kecilku sudah mengerti apa arti cinta dan bagaimana jadinya jika seseorang jatuh cinta, aku kerap kali memberitahunya. "Kau tidak boleh nakal dan harus mendengarkan perkataan Papa jika kau ingin lebih dicintai," ucapku.

"Eung!" Dia mengangguk penuh semangat.

Aku tersenyum dan menatap kembali makam suamiku di hadapan kami. "Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Juga, aku masih tetap mencintaimu." Aku berucap pada Jongin-ku. Ia mungkin tak ada tetapi aku tahu ia mendengar. Aku pun tahu jika ia selama ini selalu menjaga kami.

"Hah!" Aku menghela napas. Lantas berbalik, berpaling dari makamnya. Kepala menengadah, menatap langit yang biru, menahan air mata agar tak jatuh. Aku tahu, keduanya Kim Jongin-ku membenci aku yang menangis.

"Ayo beli es krim!" Aku berucap dengan senyum paksa; terpaksa pula berwajah girang.

Namun, Jongin kecil di dalam gendonganku mencebil bibir, wajahnya terlihat kesal dan marah. Tangannya mengusap air mataku dan bibirnya mengomel. "Tak usah mencintai Daddy jika dia membuat Papa menangis seperti ini!" Jongin kecil berucap seolah dia sudah sangat mengerti perasaanku.

Aku terkekeh, ikut menghapus sisa air mata di pipiku. "Baiklah! Ayo pergi dari sini! Tinggalkan saja Daddy sendirian!" ucapku pada buah hati kami dan kemudian mulai memacu langkah meninggalkan makam suamiku.

Mungkin kini Jongin kecilku belum mengerti sepenuhnya. Akan tetapi, bahkan jika ia sudah dewasa nanti dan sudah bisa merasakan cinta yang sesungguhnya, aku akan tetap mengatakan jika aku tak bisa untuk tidak mencintai Kim Jongin.

Ah, aku juga akan mengatakan padanya untuk tidak terlalu mempercayai cinta pertama; karena, cinta pertama tak akan pernah berhasil, itu akan sirna seiring waktu bergulir. Hanya cinta sejati yang abadi selamanya.

Kim Jongin bukan cinta pertama, dia adalah cinta sesungguhnya, cintaku yang abadi selamanya.

***

[END]

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang